Aku harus yakin itu

Dalam sebuah forum diskusi seorang teman menceritakan sebuah kisah, kira-kira begini, “Di sebuah perempatan jalan terjadi kecelakaan beruntun yang menewaskan bebeberapa orang, diantara korban yang meninggal ada seorang ustadz, ada ibu hamil, seorang anak kecil”. Penyebab dan kronologi-nya sangat tidak jelas, pokomen begitu. Sebuah pertanyaan mengakhiri kisah itu, “siapakah diantara ketiga-nya yang masuk surga?”. Pertanyaan aneh, seaneh kisahnya. Dan inilah beberapa jawaban dari teman diskusi lain, “si ustadz dong, jelas dia kan ustadz”, Jelas apanya? “si ibu hamil, karena dia sedang memperjuangkan sebuah kehidupan”, “si anak kecil, dia belum punya dosa”. Sedangkan aku, “bukan urusanku, itu urusan Tuhan”. Dan beberapa jawaban lain, pun berinti sama. Ternyata, “Salah semua! Siapa diantara mereka yang Muhammadiyah atau NU, maka dialah yang masuk surga”. Apa hubungannya? “karena surga sudah di kavling NU dan Muhammadiyah tok, hahaha”. Aneh. Tentu saja kisah itu hanya candaan belaka. Tetapi yang mendasari candaan itu adalah realitas. Organisasi ataupun kelompok Islam yang seharusnya menjadi kaki tangan agama, seakan menghianati agamanya dan menjadi agama sendiri. Klaim kebenaran tidak lagi disandarkan pada kebenaran agama, tetapi hanya pada kebenaran kelompok mereka sendiri. Penafsiran - penafsiran ajaran agama disesuaikan dengan kepentingan kelompok. Memilah, memilih dan meramu ajaran agama untuk pembenaran dari cela yang mungkin terlihat di kelompok tersebut. Klaim kebenaran saat ini bukan lagi masalah yang diperdebatkan antar agama, tetapi juga menjadi biang debat internal agama itu sendiri. Barangkali bisa dimaklumi jika klaim itu hanya tumbuh dan berkembang di dalam kelompok masing-masing, loyalitas terhadap kelompok akan semakin kuat. Tatapi tidak! Kebenaran kelompok dijadikan senjata sekaligus tameng untuk menyerang kebenaran kelompok lain. Bukan lagi loyalitas tetapi menjadi fanatisme kolompok yang berlebihan. Hilanglah toleransi, hilang saling menghargai kemudian berujung pada benci dan caci maki. Khilafiah adalah fitrah, tetapi klaim kebenaran adalah salah kaprah! Ada sebuah kisah aneh, suatu ketika di sebuah kampung diadakan pengajian akbar. Ketika seorang ustadz pengisi pengajian hendak naik mimbar, dia berdiri dan berkata, “disini ada orang golongan X tidak? Kalau ada, saya tidak mau naik mimbar!” memang kebetulan pengjian kampung itu diadakan dalam komunitas golongan Y. Aneh. Kisah aneh lain, Suatu ketika seorang dari golongan Y berada dalam masjid yang kebetulan lagi sebagian jamaahnya adalah golongan X. Sampai saatnya waktu sholat imam belum juga datang, jadi seseorang itu pun dipaksa jadi imam. Setelah sholat selesai, zikir selesai, sang imam yang dipaksa itupun meninggalkan masjid. Dan kisah pun berlanjut, salah satu jamaah berdiri dan iqomah lagi, jamaah lain berdiri dan mereka sholat lagi! Lagi-lagi aneh. Dahulu dalam kacamata awam, Islam hanya ada dua, yaitu syiah dan sunni. Sekarang bertambah Islam Muhammadiyah, Islam NU, Islam X, Islam Y dan lain-lain. Bahkan orang yang berusaha netral dengan tidak mengikuti salah satu kelompok pun tetap mendapat label sendiri, ada yang menyebut Islam Nasionalis, ada juga yang Islam Netralis. Pun sama ketika bertemu dengan kelompok lain akan di cap laisa minna kemudian berujung pada hal sama pula, klaim kebenaran dan kebencian. Tetapi sudahlah. Seperti jawabanku ketika menjawab pertanyaan aneh diatas, “itu bukan urusanku”. Aku baru tahu Islam menurut Hamka, Islam menurut Natsir, Islam menurut Abduh, Islam menurut ulama-ulama kuno, Islam menurut Johan, Islam menurut Subki, Islam menurut yang lain. Terus terang aku tidak puas. Yang kucari belum ketemu, belum kudapat, yaitu Islam menurut Allah, pembuatnya. Bagaimana? Langsung studi dari Al Qur’an dan Sunnah? Akan kucoba. Tetapi orang lain pun akan beranggapan yang kudapat adalah Islam menurut aku sendiri. Tapi biar, yang penting adalah keyakinan dalam akal sehatku bahwa yang kupahami itu adalah Islam yang menurut Allah. Aku harus yakin itu. (Mengutip tulisan Ahmad Wahib, seorang penulis yang menyapa Tuhan begitu akrab) Selengkapnya...

Blogku SayangBlogku Malang

Blogku sayang blogku malang. Dari sejak lahir sampai sekarang -ternyata sudah 2012- masih begini-begini saja. Lebih dari dua tahun dipelihara ga’ ada progress sama sekali. Template masih sama, followers tetap sama , lay out pun sama. Postingan? Apalagi, sama. Hanya kalender dan jam digital yang mengalami perubahan, angkanya, lumayan. Ibarat kata, mati segan hidup pun ogah. Maaf, bakan tanpa alasan. Saya nggak punya pulsaaa -iklan. Pulsa? Kalau itu memang bisa dijadikan alasan, izinkan saya memberi memberi penjelasan. Begini, selama ini untuk nge-blog, saya harus pakai modem -diluar kantor yang gratis dan warnet yang bayar. Niah, maksud pulsa disini adalah itu, pulsa modem. Tidak ada pulsa untuk posting atau sekedar baca ulang tulisan lebay atau mendengarkan backsound make a memory atau cuma hanya sekedar -tiga kata satu makna digabung jadi satu = penekanan- login. Kasihaan. Bukan, bukan itu alasan sebenarnya. Itu hanya alasan yang dibuat-buat. Saya TIDAK BISA menulis. Maaf, ada kata yang ditulis kapital, bukan untuk pamer. Lagipula apa yang yang bisa dipamerin dari tidak bisa. Hanya menegaskan saja. Dan benar itu adalah alasan yang sebenar-benarnya. Pertanyaan yang muncul kemudian, tidak bisa menulis kenapa membuat blog? Jawabannya adalah saya bercita-cita untuk bisa menulis, bukan penulis. Bedakan dan tolong fahami. Saya kira lebih wajar, tidak bisa menulis menjadi bisa menulis daripada tidak bisa menulis menjadi penulis. Sangat naif alias lugu, lucu tur wagu. Ya, dunia ini memang lucu. Hidup ini lucu. Manusianya lucu dan nasibnya pun lucu. Atau memang sengaja dibuat lucu dari sono-nya. Kadang yang dulu disuka sekarang dibenci, yang dulu dibenci sekarang malah justru semakin sibenci, eh maksudnya sebaliknya. Pelajaran hidup : hati-hati jika membenci dan atau menyuka karena suatu saat bisa jadi berbalik, menyuka dan atau membenci. Who never know. Cerita saya dan menulis mungkin juga bisa dikatakan lucu. Bahkan mungkin perlu ditambah kata tur wagu di belakangnya. Begini, dikisahkan ketika kelas 5 atau 6 SD, pada bagian tes essai pelajaran bahasa indonesia selalu ada “Kalimat Buatlah Sebuah Karangan!”. Ya seperti itu, cetak tebal dan tanda penthung -tanda seru- dibelakangnya. Ketika melihat, membaca dan memahami perintah itu, mendadak tiba-tiba bulu kuduk merinding, tiba-tiba badan menggigil, tiba-tiba kepala pening, tiba-tiba jari-jari kaku, tiba-tiba bicara gagu, tiba-tiba otak beku. Dan tiba-tiba yang terakhir, tiba-tiba saya mati kutu. Ya, tiba-tiba semuanya menjadi tiba-tiba. Betulkah seperti itu? Tidak, saya melibih-lebihkan gambaran itu. Gambaran yang menggambarkan bahwa saya TIDAK SUKA menulis. Maaf, sekali lagi ada yang saya tulis dengan kapital. Bukan untuk pamer. Lagipula apa yang bisa dipamerin dari tidak suka. Hanya menegaskan saja. Wiwiting tresno jalaran seko kulino. Kulino atau kepekso? Dua-duanya. Kebiasaan dan keterpaksaan. Pertama, tuntutan akademik, hampir setiap mata kuliah diharuskan = makalah + presentasi. Mau atau tidak, menulis -makalah- hukumnya wajib. Kedua, salah gaul, para senior yang saya gauli dan kadang juga menggauli, selalu mendoktrin = baca + tulis. Dan dalam pergaulan ini, menulis hukumnya sunnah muakad. Kecintaan timbul dari seringnya berinteraksi. Itulah kira-kira arti dari kalimat diawal paragraf. Dan lama kelamaan saya sangat dekat dengan dunia ini. Dunia yang syarat utamanya tidak bisa saya penuhi. Dunia menulis. Saya SUKA menulis. Maaf, untuk kesekian kali ada kata yang saya tulis dengan kapital. Bukan untuk penegasan. Lagi pula apa yang ditegaskan dari kata suka. Hanya pemer saja, Niaah. Tetapi ternyata suka tidak sama dengan bisa. Bukan tanpa usaha. Pernah saya bergabung dalam forum menulis, RESCI. Maaf, ada kapital lagi. Stop! Ini bukan pamer atau tidak pamer. Ini adalah singkatan nama. RESCI, Religion and Social Changed Institute. Forum dengan tema besar masalah perubahan sosial dan keberagamaan. Dan disini saya benar-benar merasakan bahwa menulis tidaklah gampang. Butuh analisis kritis, kritik konstruktif, penyelesaian solutif atau apalah. Otak saya dibuat cekot-cekot dengan itu. Dan saya frustasi. Kemudian saya beralih kepada menulis yang menurut saya -saat itu- lebih mudah, menulis fiksi. Modal utama sudah ditangan, melamun, membayangkan dan mendramatisir keadaan. Ya, sedikit banyak sudah menjadi kebiasaan saya. Tinggal dituangin kedalam tulisan dan menulis. Tetapi ternyata itupun tidaklah gampang. Kembali ke masalah awal, otak saya cekot-cekot. Dan aku benar-benar frustasi. Ya sudahlah. Akhiri saja tulisan ini sebelum frustasi ini menjadi. Tetapi sebelumnya izinkan saya memberi klarifikasi dan juga koreksi. Pertama, Maaf, alur tulisan ini ngalor-ngidul ga’ genah. Kata dan makna yang tidak karuan, juga omitting dan elliptic yang tidak semestinya. Kedua, maaf terlalu banyak kata maaf. Kata orang, kata yang terlalu banyak diulang malah justru menunjukkan ketidakseriusan makna dari si pengucap kata. Semisal cinta cinta cinta, menunjukkan makna tidak benar-benar cinta, benci benci benci, menunjukkan makn aticak benar-benar benci. Pun juga dengan kata maaf maaf maaf dalam tulisan ini. Bukan tanpa sengaja, ini sengaja. Maaf. Baiklah. Agar terlihat nyambung dengan tema awal tulisan, maka kalimat terakhhir dalam tulisan ini saya tulis : blogku sayang blokku malang. Selengkapnya...