always be my baby

We were as one baby
For a moment in time
And it seemed everlasting
That you would always be mine
Now you want to be free
So I'm letting you fly
Cause I know in my heart baby
Our love will never die, no

You'll always be a part of me
I'm a part of you indefinitely
Girl don't you know you can't escape me
Ooh darling cause you'll always be my baby
And we'll linger on
Time can't erase a feeling this strong
No way you're never gonna shake me
Ooh darling cause you'll always be my baby

I ain't gonna cry now
And I won't beg you to stay
If you're determined to leave girl
I will not stand in your way
But inevitably you'll be back again
Cause you know in your heart baby
Our love will never end no

I know that you'll be back girl
When your days and your nights get a little bit colder
I know that, you'll be right back
baby believe me it's only a matter of time

-David Cook- Selengkapnya...

Make a memory .... #3

:: I Hate The Rain

You whispered that you were getting tired..
Got a look in your eye, looks a lot like goodbye..
Hold on to your secrets tonight..
Don’t want to know I’m ok with this silence..
It’s truth that I don’t want to hear..

Tempat yang sama 4 tahun lalu. Pepohonan itu masih begitu rindang, tempat itu masih penuh kesejukan. Dan burung-burung itu masih saja berisik.
Dari balik rindang pepohonan, tepatnya diatas pepohonan itu, terlihat awan putih yang mulai bergumul menutupi sinar matahari. Beberapa sisi awan terlihat masih tampak putih bercahaya, tetapi di sisi lain, noktah-noktah keabuan mulai menghiasi. Tak secara sempurna awan-awan itu menghadang matahari, karena pada banyak sisi masih terlihat birunya langit. seakan awan hanya ingin membuat teduh beberapa daerah saja. Desir angin yang sedari tadi bergantian membelai kulitku seketika terhenti. Kesejukan yang dibawanya pun berganti, berganti dengan udara dingin yang begitu kuat dan semakin erat memeluk tubuh. Sebuah keanehan yang membawa tanya kenapa bisa terjadi. Perubahan suasana ini menuntunku pada kegalauan dalam diri. Tubuhku kaku, hatiku menggigil, degup jantung bergerak lambat tetapi begitu keras.

Dia terdiam. Untaian kata dari bibirnya sirna. Nada indah yang dia nyanyikan tak bersisa. Candaan mesra, tawa bahagia bahkan senyum manisnya tak lagi ada. Semua terkalahkan dan harus tunduk pada isakan tangis yang mulai terdengar lirih darinya. Aku tahu, dia berusaha keras menahan tangis itu. Namun dadanya tak cukup kuat menahan sesak. Kelopak matanya pun tak begitu kuat menahan air mata yang kian mendesak. Tetes putih bening itu pun mulai terlihat. Terlihat membasahi pipi putih bersihnya. Sebagian membasahi bagian jilbab yang terlipat dan menempel di bagian belakang wajahnya. Dia mencoba menyembunyikannya dariku dengan membuang muka kearah berlawanan dengan pandanganku. Berharap aku tak melihat tetesan air mata itu.

Terlihat dia menyeka air matanya kemudian memaksakan padangannya ke arahku. Air mata itu membuat mata sendunya semakin sendu, memerahkan dan sedikit membengkakkan kantong matanya. Berulang kali menarik nafas panjangnya, mencoba mengurangi sesak dan isak yang bersumber dari dadanya. Dia berusaha mengontrol diri, meredakan emosi yang berkecamuk dalam dirinya.

Kini dengan suara terbata, dia mencoba merangkai kata. Kata-kata yang mungkin sangat dia ucap, “sampai kapan kita harus kehujanan hanya untuk menunggu pelangi yang tak kunjung datang, mas?. Bahasa kias yang entah dia dapat darimana. Ya aku sangat faham, pelangi itu sebagai analogi dari kebahagian. Pertanyaan yang bagiku sebagai penyangsian akan tekad yang dibulatkan. “awan semakin hitam, badai semakin kencang berkelebat, gemuruh dan kilatan petir membuat hati ini kian pekat” kata-katanya terhenti oleh isak tangis, terlihat air matanya menetes, mengalir melalui pinggir pipinya. Kembali dia mengalihkankan tatapannya dari tatapanku, dan kini dia tertunduk, “aku semakin kuyup mas, aku kedinginan, lelah, dan kini aku rapuh” kata-kata yang mengisyaratkan menyerah dan pasrah terucap dalam ketundukan.
Jantungku kini tak mau berdegup lambat, semakin keras dan kencang. Hatiku pun tak mau berhenti bergetar. Dan jujur mataku mulai berkaca, dadaku pun mulai sesak. Ingin sekali air mata yang sudah berada di kedua sudut mata kubuang keluar. Tetapi tidak, air mata itu tertahan oleh ego dan harga diri dalam hati. Aku hanya bisa berusaha tenang dan mencoba menguasai diri.

Dia tak lagi menyerongkan posisi duduknya kepadaku. Karena itulah aku menggeser posisi dudukku sedikit mendekat padanya. Kubuat posisi dudukku tegak lurus dengan posisi duduknya. Aku sedikit menundukkan tubuh dan wajahku, mencari tatapan matanya yang dia sembuyikan dalam ketundukan wajahnya. Dengan lembut kuberanikan meraih tangan kanannya dengan tangan kiriku. Kubelai lembut punggung telapak tangannya dengan jemariku. Suara pelan dengan intonasi tegas keluar dari bibirku membalas kata-katanya, “Aku bisa mencarikan tempat berteduh. gelapnya awan, kencangnya badai, gemuruh dan kilatan petir ini hanya sementara.. kuberikan dekapku agar kamu tak kedinginan, memapah dan menggendongmu jika kamu kelelahan.” aku coba menyakinkannya. Semakin erat kupegang tangannya, sebagai isyarat bahwa aku benar-benar serius dengan kata-kataku. Masih dengan tertunduk kembali dia mengucapkan tanya, “tapi sampai kapan?”.

Aku terbungkam. Aneh, pertanyaan itu membuat pikiranku blank, membuat bibirku bisu dan membuat hatiku kaku. Aku tak mampu menjawabnya walau hanya dengan bahasa semu untuk menenangkan hati. Aku benar-benar terkunci mati, karena aku sadar bahwa apapun jawaban dari pertanyaannya hanya bahasa klise. Bahasa yang bisa jadi hanya berisi janji-janji yang belum tentu terberi. Bahasa yang nilai kebenaran akan sulit terbukti. Bahasa angan-angan yang sama sekali tak menyentuh keghaiban. Bahasa kebohongan yang hanya menenangkan hati, hatinya atau mungkin hanya menenangkan hatiku sendiri. Aku diam. Dan se-isyarat dia pun diam. Dan keadaan itu bertahan sampai beberapa saat.


You're hiding regret in your smile..
There's a storm in your eyes I've seen coming for a while..
Hold on to the past tense tonight..
Don't say a word, I'm ok with the quiet..
The truth is gonna change everything..


Langit mulai sempurna tertutup awan keabuan. Mengisyaratkan mendung yang mulai datang. Gemuruh suara awan mulai terdengar meskipun belum bersautan. Angin pun mengencang tak karuan. Burung-burung mulai beterbangan mencari tempat berteduh yang aman. Sementara kami berdua masih dalam diam. Dia masih tertunduk, tetap pada posisinya. Dan aku mulai menarik diri, tak lagi menghadapkan diri ke arahnya. Seakan mengambil arah sejajar dengan arah duduknya. Genggaman tanganku pun melemah, tetapi tetap aku mengenggam tangannya, tak mau kulepas walau dalam kepasrahan menyerah.

Untuk kesekian kalinya dia mengusap air matanya. Bangkit dari ketundukannya. Mencoba tegar dengan memaksakan senyum dibibirnya. Mengarahkan pandangannya utuh kepadaku. Kini dia membalas genggamanku dengan mencoba menggenggam jari-jariku. Begitu erat. Beberapa saat dengan senyum dan genggaman itu dia masih terdiam, seakan itu adalah isyarat kalo semuanya akan baik-baik saja. Sampai pada untaian kata lirih yang jelas terdengar di telingaku, “aku pergi bukan karena aku tak mencintaimu.. sungguh.. dengan segenap hati aku mencintaimu.. kalau kepergiaanku ini hanya sementara, bersabarlah aku akan kembali utuh untukmu.. tetapi kalau kepergianku untuk selamanya, ikhlaskanlah.. itu sungguh bukan kuasaku”. Dengan tetap tersenyum dia perlahan melepas genggamanku. Senyuman teraneh yang menambah koleksi senyumannya di memoriku. Jujur senyuman itu adalah yang terindah, karena itu terakhir yang dengan jujur dia berikan padaku.

Aku pun pasrah. Dengan senyuman dia pergi. Meninggalkan aku sendiri dalam kehampaan hati. Sedih dan perih. Tanpa sadar beberapa tetes air mata menetes dari sudut mataku. Tak bisa tergambarkan betapa hancur dan sakitnya hati sampai air mata itu harus keluar. Aku Patah.

Sementara langit tak bisa berbuat apa-apa, hanya diam, memandangiku dengan wajah mendungnya. Padahal aku sangat berharap langit menumpah-ruahkan tetes-tetes air hujan yang dimilikinya. Aku butuh air itu untuk membiaskan air mataku yang dengan sengaja membiarkanku menangis, untuk menyembunyikan air mataku. Oh hujan kenapa kau tak turun, aku butuh kau untuk membuktikan pada dia bahwa memang harus kehujanan untuk melihat indahnya pelangi. Pelangi yang kau ciptakan bersama seberkas cahaya matahari. oh hujan, tak bisa kah kau sekedar basa-basi menambah dramatisasi kisahku seperti dalam sinetron, film atau cerita-cerita fiksi. Dalam hati aku terus meneriaki langit.

Beberapa saat setelah dia berlalu dan tak terlihat lagi. Aku masih bertahan di tempat itu. Aku duduk sendiri. Merasakan sisa-sisa suasana dan rasa yang masih tertinggal. Pandangan kosong tetapi fikiran terus melayang-layang. Mencari rasionalisasi dari semua yang telah dilalui dan baru saja diakhiri. Masa- masa indah yang tak pernah bisa dilupakan. Masa-masa itu akan menjadi pembading lurus dari rasa sakit yang kuterima. Seperti kata-kata yang pernah dia ucapkan, “jangan dilupakan, tapi jangan diingat-ingat”. Betul, aku tak akan melupakan, tetapi untuk melanjutkan kisahku tak harus aku terus mengingatnya. Rasionalisasi fikiranku terhenti pada satu sisi kesimpulan, aku harus terima ini mungkin jalan terbaik yang harus dijalani. Terdengar sangat klise, tapi itulah.

Dedauan mulai dijatuhkan oleh pepohonan itu. Mungkin karena hembusan angin kencang yang memaksanya. Seisyarat dengan itu, wajah mendung langit yang menua mulai menjatuhkan titik demi titik air hujan. Langit mengajakku bercanda. Sengaja mengulur waktu untuk menurunkan hujan. Entah apa maksudnya. Dengan memandang langit, aku melintangkan senyum dan berkata dalam hati, “terlambat, aku tak membutuhkannya lagi”. Kini kubiarkan hujan itu membasahi semua cerita lalu. Tetapi tak kubiarkan dia membasahiku, dengan sekuat tenaga dan hati aku berlari menghindari hujan ini.

So lie to me and tell me that it's gonna be alright.
So lie to me and tell me that we'll make it through the night.
I don't mind if you wait before you tear me apart.
Look me in the eye, Lie, lie, lie.
Don't want to know I'm ok with the silence.
It's truth that I don't want to hear.
(Lie, David cook)

Selengkapnya...