Make a memory.... #2

:: Te Quiero

Senyumlah… dan si manis pun tertawa
Hadirkan…. rasa tuk berbagi cinta
Senyumlah… dan si manis pun tertawa
Hadirkan… rasa rindu dihati


Pepohonan itu begitu kokoh berdiri, begitu rimbun, dan begitu rapi. Semuanya bersatu padu berusaha keras menentang teriknya sinar matahari. Sesekali sinar itu berusaha menyelinap masuk dari sela dedaunan. Tetapi seketika itu juga dedaunan tersadar dan kembali menutupi sela itu. Tak serta merta mengusir sinar itu, sebagian dari mereka ditawan dan dipaksa bekerja sebagai bagian dari proses fotosintesis. Kandungan oksigen yang tercipta begitu kental terasa dalam setiap helaan nafas. Seakan tak mengizinkan adanya gas lain ditempat itu, seluruh cela ruang udara pun ditempatinya. Bahkan angin yang berdesir adalah akibat dari dominasi oksigen dari tempat itu. Angin yang berdesir perlahan itu justru mampu menerbangkan jiwa dan raga kedalam kesejukan.

Jasa besar pohon itulah yang menjadikan tempat itu begitu menyejukkan. Berada diantara gerbang besar kampus dan masjid agung kampus, semakin meneguhkan bahwa indahnya hidup berada disitu. Panasnya lalulalang jalan memang tampak terlihat jelas, tetapi tetap hanya ‘tampak terlihat’. Seakan ada kesejukan surgawi yang tercurah dari masijd agung membentengi panas-panas itu untuk masuk didalamnya. Layaknya sebuah taman, tempat duduk semi permanen sengaja dilingkarkan tepat dibawah pepohonan itu. Di masing-masing pohon dan melingkar. Siapapun akan merasa rugi kalau tak singgah ditempat itu, walau sesaat, siapaun itu dan sesibuk apapun orang itu, meski hanya sesaat.

Aku duduk dan menunggu, dibawah salah satu pohon. Duduk dengan menghadapkan diri pada gerbang kampus. Dan terus berharap yang aku tunggu segera muncul dari balik gerbang itu. Sesekali melihat jam di pergelangan tangan kiriku, sesekali memainkan HP, sekedar iseng bermain game, dan yang pasti berulang kali buka inbox, sekedar baca berulang sms yang beberapa menit lalu masuk, “Tggu bentaaar, dah dket kok, sabar ya ^^”. Menunggu? Kesabaranku tak akan pernah habis hanya karena menunggunya. Karena tak hanya sekali itu aku menunggunya. Beberapa menit bahkan berjam-jam tak akan ada arti dan tak jadi masalah. penantian panjang pernah aku lalui untuk menunggunya.

Beberapa menit setelah aku baca berulang smsnya, sebuah angkot melintas di luar kampus. Warna kuning yang mendominasi bodinya dan warna merah pada bagian dasbornya. Sebelum benar-benar berhenti di pinggir gerbang, terlihat sekilas gadis berjilbab dibalik kaca mobil angkot, “nah itu dia” pekikku dalam hati yang kegirangan. Aku tertegun, candaan orang-orang tentang “bagai bidadari turun dari angkot” benar-benar nyata aku alami. Aku benar-benar melihatnya. Seketika senyumku mengembang begitu sempurna, tanpa diperintah. Subhanallah, tak pernah jemu aku memandang begitu indahnya dirinya.

Jilbab kuning muda berhias bordir motif bunga di sudut bagian belakang, Setelan baju bergaris tegak dengan paduan warna kuning, coklat muda dan putih, yang didominasi wana kuning. Bawahan panjang berwarna coklat agak kehitaman. Padu padan busana yang sangat apik. Motif baju bergaris itu seakan menjadi jembatan warna yang menjadi penghubung antara jilbab dan bawahan yang dikenakannya. Dia memang sangat fashionable.

Tak segera aku menghampirinya, sejenak sengaja kubiarkan dia beridiri di pojok kiri gerbang, dan kubiarkan dia mencari-cariku. Kebingungan tetapi tetap berusaha tenang. Melangkahkan mundur kakinya dan menyandarkan tubuhnya pada dinding gerbang. Isyarat tubuh yang menyatakan dia ‘menyerah’ mencariku. Senjata terakhir adalah HP yang sedari tadi sudah ada di tangan kanannya. Aku tahu yang akan dia hubungi, pastilah aku. HP-ku pun berbunyi, sengaja tak kuangkat tapi segera aku berdiri dari tempat duduk dan menghampirinya.

Spontan senyumnya melintang di wajahnya ketika melihatku. Senyuman manis yang selalu berhias dua lesung pipit di kedua sudut pipinya. Dia masih tetap bersandar di dinding seolah sengaja membiarkan aku datang menjemputnya, dua tangan dia satukan dengan menggenggam HP, separuh HP dia genggam dengan kanan dan separuhnya lagi dia genggam dengan tangan kirinya. Sesekali dia menggerakkan tubuhnya maju kedepan dan ke belakang, menggerakkan tangannya ke kanan dan ke kiri, seolah tak sabar agar aku cepat menghampirinya.

Senyumnya kini bercampur manyun ketika aku ada tepat di depannya. Wajahnya di tekuk lucu, tapi tetap dia tak mampu menyembuyikan sisa senyum yang ada di wajahnya. “Kemana?” tanyanya dengan berpura jengkel, aku tersenyum dan telunjuk tanganku mengarahkan pandangannya pada tempat aku duduk, “kenapa ga langsung kesini?”, aku masih tersenyum “sengaja” jawab singkatku. Terlihat dia mengerutkan dahinya, seolah kembali ada banyak tanya dalam fikirnya, sebelum dia menanyakan itu, aku mendahuluinya ”sengaja.. pengen ngliat perempuan cantik ini kebingungan, ternyata lucu juga” ketawa ringan keluar dariku. “Hah.. dasar.. gombal.. Puass.. kebiasaan!!” merasa aneh dengan apa baru saja yang aku lakukan. Tahu kesengajaan yang aku buat, kini dia berpura marah, mata dipaksa menatap tajam, alisnya diangkat dan senyumnya berusaha dibuangnya. Aku hanya tersenyum itu, jujur dia terlihat begitu cantik dengan ekspresi seperti itu. Aku yakin itu hanya kepuraan dan tak akan bertahan lama, hanya dalam hitungan detik. Dan benar, semua ekspresi yang dia munculkan, manyun, jengkel, bingung dan marah melebur dalam sebuah senyuman manis dari bibirnya. Dia memang begitu ekspresif, aku selalu menikmati setiap ekpresi yang dia buat sebagai sebuah keindahan.

Berdua kami melangkah meninggalkan gerbang. Tempat duduk tepat dimana aku duduk menunggunya telah menunggu. Banyak tempat duduk dengan suasana yang sama, tetapi kami lebih memilih tempat itu. Karena disitu lalalulang orang tak begitu sering dan tak begitu banyak. Dengan kata lain tak akan ada banyak orang yang menganggu. Berkisah apapun akan lebih nyaman, bahkan mungkin lebih indah. Dan di tempat duduk itulah kami berdampingan. Kami duduk dengan menyerongkan badan saling berlawanan arah. Dia disisi kiriku, mengarahkan posisi duduknya kepadaku, dan akupun sebaliknya. kami memang tak berhadapan tapi dengan jelas kami bisa saling menatap. Dan kecantikan tampak terlihat jelas di depan mataku.

Kicauan burung-burung kecil diatas kami begitu berisik. Mereka terus menerus berteriak, meneriaki kemesraan kami. Pastilah teriakan kecemburuan karena aku yakin mereka tak akan pernah bisa semesra kami. Senyum kecil dibibir dan teriak kecil dalam hati menertawakan burung-burung kecil itu. Alangkah bodohnya mereka, mereka tidak sadar, justru teriakan mereka semakin menghiasi kemesraan kami. Dan dengan begitu mereka akan semakin cemburu.. Kami begitu ‘mesra’dalam segala kisah yang kami kisahkan. Kemesraan yang hakiki tanpa unsur negatif didalamnya. Saling memberi saling menerima, saling mengisi dan saling melengkapi. Siapapun pastilah akan iri melihat kemesraan kami. Dan kami tak peduli itu.

Dia tersenyum manis kepadaku, kemudian dengan artikulasi lirih dia berbisik, “Te queiro”.
"Te Amo demasiado", jawabku.
Selengkapnya...