Aku Tak Bisa Lagi Menyanyi

Aku tak bisa lagi menyanyi
bagiku tak ada lagi lirik dan musik
yang menarik untuk ku nyanyikan
bersamamu ataupun sendiri

burung-burung terlalu berisik
mendendangkan apa saja
setelah mereka merdeka
membuatku tak dapat lagi mengenali
suaramu atau suaraku sendiri

taman tempat kita istirahat becek darah
yang seharusnya tak tumpah
jalan-jalan tempat kita mendekatkan hati
tertutup dihadang geram dan amarah
malam malam tempat kita menyembunyikan cinta
dionarkan kobaran kebencian
daging daging yang selama ini kita manjakan
pun ikut terpanggang api dendam
udara di sekitar kita meruapkan bau terlalu anyir
dan lalat lalat berpesta dimana mana

bagaimana aku bisa menyanyi
aku tak mampu meski menyanyikan lagu duka
aku tak bisa mengadukan duka pada duka
mengeluhkan luka pada luka
senar gitarku putus
dan aku tak yakin mampu menyambungnya lagi
dan langit pun seolah sudah muak
dengan lagu lagu bumi yang sumbang

maaf sayang
aku tak bisa lagi menyanyi
bersamu ataupun sendiri
entah, jika nabi daud datang
membawa seruling ajaibnya



by. Mustofa Bisri Selengkapnya...

Make a memory ... #thelast

:: Blue Safir

Anyelir itu tampak berseri indah. Warna merah muda segar dan mekar di setiap tangkainya. Komposisi bunga yang terpisah dari bagian kelopak adalah cirinya. Bunga dengan nuansa penuh kecantikan dan keanggunan. Dan merupakan ekspresi dari perasaan sentimental yang merawatnya. Anyelir itu diletakkan pada sebuah pot tanah liat. Pot warna cokelat eksentrik bereliefkan bunga. Pot itulah yang menjadi singgasana dimana dia bertahta. Berada pada sudut kanan teras rumah. Pesona anyelir itu semakin mempesonakan rumah itu. Rumah yang tak megah tapi keserdahaannya begitu wah.

Pintu rumah terlihat terbuka. Tetapi tak ada seorangpun terlihat. Aku memencet tombol yang bertulis “bel” di samping kiri pintu, sekali. Terdengar isyarat dari dalam rumah untukku sejenak menunggu. Tak sampai hitungan menit, gadis cantik dari dalam rumah keluar dan langsung mempesonaku. Pesona itu secara otomatis menggantikan pesonan anyelir yang sempat terekam dalam fikirku. Begitu anggun dan sederhana. Anggun dalam kesederhanaannya.

Dia Berdiri tepat di depan pintu bagian dalam, dia memandangiku. Dan aku berdiri di depan pintu bagian luar, memandanginya. Dia tampak terkejut dengan kedatanganku. Sengaja tak kuberitahukan kedatanganku. Surprise itulah yang aku inginkan, dan itulah yang terjadi, dia benar-benar terkejut. Sampai-sampai aku harus mengucap salam dua kali, karena salam pertamaku tenggelam dalam keterkejutan, keheranan dan mugkin kebingungannya.

Tak langsung dia mempersilahkanku masuk, Dengan suasana hatinya yang masih sama dia terus memandangiku. Aku pun melakukan hal yang sama, memandanginya. Tak banyak yang berubah dari diriku, kecuali mungkin tubuhku yang tak sekurus dulu. Begitupun dia, tak ada yang berubah darinya, bening mata itu, lesung pipit itu dan yang pasti senyum itu, tak berubah.

“Aku ga boleh masuk nich?”tanyaku dengan nada canda.
“Ups.. maaf..” singkat dia menjawab dan kemudian tersenyum. Senyum itu yang kuartikan sebagai isyarat mempersilahkanku.

Sofa beludru cokelat muda menjadi tujuanku ketika aku masuki rumahnya. Aku duduk menyandarkan diri dengan sedikit merebahkan tubuhku. Meluruskan kakiku. Membuat tubuh terutama punggungku terasa relaks. Telapak tanganku menyentuh lembut beludru sofa, begitu halus, begitu lembut. Dan masih dalam posisi itu, dengan mata terpejam, kutarik nafas dalam-dalam. Sedikit melepas lelah dari perjalananku.

Dia duduk di sampingku, matanya masih menelenjangiku.
“Dah lama banget ya? berapa bulan ya? Ato mungkin sudah setahunan?”
“Hhh.. kangeeen..” kata itu muncul sebelum aku jawab pertanyaanya.

Lama tak kudengar kata itu darinya. Jelas itu ekpsresi dari hati. Kata itu berhasil membuatku melayang sekaligus tenggelam. Melayang terbang ke cakrawala cinta dan kemudian tenggelam dalam samudra asmara. Kata yang aku tunggu dan selalu kurindu.

“Iya ya lama banget.. aku juga kangen” tawa ringan mengiringi jawabku
“Hmm.. tepatnya 11 bulan 16 hari, ya setahun kurang dikit lah”, tambahku. Jawaban dengan hitungan yang lebih akurat, karena aku ingat betul kapan terakhir kami bertemu dan berpisah. 13 September 2008 itulah terakhir kami bertemu dan sekarang 27 September 2009. Memori yang tak pernah bisa terlupa, mungkin karena terlalu pahit buatku. Dengan senyuman teraneh dia pergi. Dan meninggalkan mendung di hatiku.

“Maaf?” Kata yang spontan keluar dari bibirnya, karena mungkin merasa bersalah telah pergi. Mendadak suasana menjadi beku. Aku terdiam mendengar kata maaf itu, dia pun diam setelah mengatakan itu. Sama sekali aku tak menyalahkannya. Aku lebih menyalahkan keadaan, waktu dan diriku sendiri. Aku yang belum bisa menyakin semua hal yang di harapkan. Tetapi jujur, ada kekecewan yang cukup lama berdiam di hatiku atas kejadian itu.

“Hush.. apaan? Tak ada maaf bagimu.. ha.. haa”
“Maaf lahir batin juga deh” jawabku untuk mengalihkan sekaligus mengaburkan rasa bersalahnya. Mencairkan suasana hati kami, yang sejenak sama sama membeku. Kini dia mulai tersenyum dan aku pun tersenyum.
***

Segelas minuman dingin berwarna hijau dan berasa melon tersanding di depanku. Disamping kiri nya sekitar 15 senti, segelas air putih bening tanpa rasa, itupun untukku. Dua gelas minuman sengaja kuminta karena aku pasti akan lama berada disitu dan satu gelas tak akan cukup. Tak kulihat minuman ada di depannya, sengaja dia tak buat minuman untuknya. Dia hanya buat minuman untukku. Tepat berada di belakang dua gelas itu, tampak rapi berjejer kotak-kotak kue dengan beraneka macam rupa dan mungkin juga rasa. Masing-masing kotak berisi kue sekitar tiga per empat bagian kotak. Terlihat jelas karena semua kotak kue itu berbuat dari kaca bening.

“Eh, gimana Kalimantan? Critain ya? Pokokya critanya yang komplit” pertanyaan itu adalah pembuka dari seribu pertanyaan yang coba dia tanyakan padaku selanjutnya. Dan dengan senang hati aku menjawabnya, karena memang aku ingiin sekali bercerita semuanya dengannya. Dan aku cerita semua, tentang pengalaman pertama orang udik naik pesawat, tentang pengalaman kerja, tentang kehidupan di tanah rantau, tentang perbedaan budaya, tentang mitos-mitos, tentang tempat wisata, sampai pada tentang hati.

Menit ke menit berselang, setengah jam lebih aku bercerita. Hanya terhenti ketika aku minum dan mencoba sedikit kue yang sedari tadi ia tawarkan. Menjawab semua pertanyaan dan keingintahuanya tentang diriku, tentang kehidupan yang aku jalani. Hanya saja tersisa satu cerita yang masih aku simpan, yaitu tentang risalah hati.

“Sekarang giliranku bertanya dan giliranmu bercerita, so.. apa yang kamu lakuin di kotamu ini?”
“Dah jadi putri solo kah?” aku mulai bertanya dengan sedikit canda.

Dia pun mulai bercerita tentang dirinya, tentang kerja, tentang keluarga, tentang solo yang semakin ramai dan tambah panas. Seakan tak mau kalah denganku, ceritanya pun dia buat seekstrik mungkin. Dan memang ceritanya terlihat begitu menarik. Ceritanya membuatku seakan aku ingin kembali hidup di Solo. Dan ingin terus berbagi pengalaman hidup dengannya di kota itu. Pun sama denganku ada satu cerita tersisa darinya, yaitu tentang risalah hati.

Es dalam gelas mulai mencair, memudarkan warna hijau sirup melon yang tadinya pekat. Butiran-butiran beningnya terlihat mengapung di permukaan. Sementara di bagian luar dinginnya es membuat seluruh permukaan gelas seperti tertutup embun es. Air putih bening masih utuh tak tersentuh, karena memang sedikitpun belum aku minum. Sedangkan kotak-kotak sebagian dibiarkan terbuka. Sengaja dibiarkan begitu untuk memudahkanku mengambilnya.

Kini tiba saatnya untuk masalah hati, karena hal inilah yang membawaku kesini. Sebuah kepastian yang ingin aku pastikan. Selama ini hubungan kami nggantung. Dan itu itu dimulai sejak terakhir kami bertemu, lebih tepatnya setahun yang lalu. Komitmen sepihak darinya adalah untuk tidak berkomitmen. Dia membebaskan hatiku dengan komitmen itu. Alasan klise, bahwa jodoh tak kan lari kemana, jodoh ditangan Tuhan dan alasan tak ingin membebaniku dengan sebuah komitmen. Dengan kata lain dia membiarkan hatiku bebas memilih. Saat itu dia berfikir, barangkali dalam perjalananku akan ada yang ‘lebih’ dari dirinya. Tapi justru “membebaskan” itu membelengguku. Kini dengan tujuan suci, kumantapakan hati untuk membuat janji suci.
***

I did love you” dia mengatakan itu.

Selintas terdengar begitu begitu indah di telinga. Tetapi ketika kuputar ulang kata itu dalam fikirku, itu sungguh mengecewakanku. Sebenarnya aku tak begitu faham bahasa itu, tapi dengan meraba aku coba menafsirkannya. Dia menggunakan kata did di sela kata I dan love. Kata itu memberi makna penekan yang bisa diartikan sungguh. Tetapi did adalah bentuk lampau. Dan ini berarti, dia dulu sungguh mencintaiku. Perntanyaannya, dan bagaimana sekarang? Kenapa dia tidak menggunakan kata do? Pikiranku menjadi tak karuan. Firasat aneh pun muncul dalam diriku. Aku merasakan hal yang sama satahun yang lalu akan terjadi lagi. Dia meninggalkanku. Dan aku begitu takut, yang kurasakan saat ini dia akan meninggalkanku untuk selamanya

Tidak ada lagi kata dari dia setelah dia mengatakan I did love you. Dia diam dan tak memberitahuku kenapa dia berkata itu. Dengan wajah tak berekspresi dia menatapku tajam. Raut wajah yang bagiku begitu hambar. mencoba menahan sedih dengan senyuman yang tak memberi makna. Matanya mulai berkaca tapi berusaha keras agar air dimatanya itu tak jatuh. Dia seperti terlihat mencoba tegar. Pun dengan wajah seperti itu, dia tak mencoba memberitahuku.

Dia menegakkan duduknya. Membusungkan dadanya. Dan menjamkan tatapan matanya ke arahku. Dia Menyatukan kedua tangannya dalam pangkuannya. Memainkan jari jemarinya. Dan ternyata ada satu jari tangan kiri yang terus dia mainkan dengan tangan kanannya. Jari itu adalah jari manis. Ibu jari dan telunjuk tangan kanan memegang sebuah benda yang melingkar di pangkal jari itu. Memutar-mutar ke kiri dan kanan. Dan kadang menariknya dari pangkal jari ke tengah kemudian di kembalikan ke pangkal jari. Benda itu adalah sebuah cincin. Ya ada cicin melingkar di jari manisnya.

Cincin tunangan itu begitu cantik. Motif ukiran halus bentuk persegi bertumpuk belah ketupat yang begitu simetris. Seperti sebuah hologram, membuat motif itu tampak berdimensi. Frame tipis yang tergaris di bagian sisi membuatnya semakin eksentrik. Emas putih yang menjadi bahan dasar begitu mendominasi. Tetapi dominasi itu seakan tak berarti ketika berlian bening bartahta di bagian sentral cincin. Tertancap kokoh dan tak tergoyahkan. Bening kilaunya menjadikan seluruh bagian cincin semakin berdimensi. Emas putih dan berlian selalu sempurna menjadi kombinasi, selalu menjadi pasangan serasi dan abadi. Begitu cantik, menarik dan eksentrik.

Cincin itu melingkar cantik di jari manisnya. Jari yang menjadi simbol keabadian sebuah pasangan. Filosofi yang mengatakan bahwa jari manis adalah symbol dari pasangan kita dan kita di simbolkan dengan jari tengah. Dua jari yang sangat dekat dan sulit dipisahkan. Dan ketika cincin melingkar di jari manis itu berarti sebuah ikatan sejati terikat mati dalam janji suci. Aahh.. peduli setan dengan semua itu, yang jelas cincin itu ada di jari manisnya.

Damn! Kenapa tak kusadari itu. Dia mencoba memberitahuku tanpa kata-kata. Mungkin dia tak sanggup mengatakannya. Dia memberitahuku dengan isyarat cincin. Cincin itu menjawab semua pertanyaan-pertanyaanku. Cincin itu membenarkan firasat-firasatku. Cincin itu menafikan semua anganku tentang dia. Dan cincin itu telah menghancurkan hatiku.

Pikiranku melayang. Dan lagi-lagi mencoba mencari rasionalisasi. Menenangkan hati. Sisi ‘kiri’ hati berkata bahwa aku telah dibodohi. Alasan ingin “membebaskanku” dari komitmen hanyalah klise. Itu hanya alasan yang sebenarnya dia ingin membebaskan dirinya sendiri. Kebebasan memilih. Termasuk memilih seseorang untuk pendaping hidupnya. Termasuk memilih juga untuk terlepas dariku. Jika memang seperti itu, alangkah bodohnya aku. Harusnya aku sadar dari setahun lalu. Tetapi tidak. Sisi hati yang lain masih percaya penuh atas alasan-alasan yang dia ucap.

Entah, apakah dia sudah merasa lega, bahagia atau kecewa, aku tak tahu itu dan tak ingin tau itu. Tapi yang jelas aku merasa sangat terluka. Tak ingin meninggalkan beban di hatinya, dengan perntanyaan-perntayaan yang mungkin sulit dijawab, segera aku pamit. Dan seakan tak ingin menambah beban dihatiku, diapun tak berusaha menahanku.

“Aku akan ikhlas menjalani keputusanku, asalkan orang-orang di sekitarku, termasuk mas juga ikhlas dengan keputusanku” kata itu dia ucap sesaat sebelum aku beranjak berdiri dari tempat dudukku. Dengan senyuman aku jawab, “Doakan aku biar bisa bener-bener ikhlas”. Jujur untuk saat ini aku bener-bener tidak ikhlas.

Sepanjang jalan Slamet Riyadi menjadi saksi betapa pilu dan perih hati ini. Jauh api dari panggang. Yang di harap tak sesuai yang didapat. Datang dengan niat suci ingin mengikat hati dah janji, tetapi pulang dengan hati sepi. Tak kusangka aku patah hati, lagi. Dan kali ini tak ada harap lagi, karena jelas dimataku dia tak mungkin bisa kumiliki. “Cinta tak harus memiliku” aahh.. teori, sounds like bull. Yang jelas ketika cinta tak memiliki kita hanya bisa gigit jari dan mungkin menangis dalam hati.



Mengahadapi kemerdekaan tanpa cinta.. Kau takkan megerti segala luka ku.. Karena cinta telah sembunyikan pisaunya.. Membayangkan wajahmu adalah siksa.. Kesepian adalah ketakutan dan kelumpuhan.. Engkau telah menjadi racun bagi darahku.. Apabila aku dalam kangen dan sepi.. Itulah berarti aku tungku tanpa api.. (Puisi Rosyid dalam Tiga Hati Dua Dunia Satu Cinta)

Selengkapnya...