The Costumer is always Right

Costumer is always right… Costumer is always right…” kalimat itulah yang berulang kali di teriakan oleh Sam di salah satu scene film I am Sam. Ketika itu Sam bersama putrinya, Lucy, ada di sebuah café shop. Menu French Pancake yang Sam pesan tidak tersedia di café shop itu. Tawaran French Toast dari pelayan di tolaknya mentah-mentah. Pun ketika putrinya menawarkan Pancake Crepe, tak digubrisnya. Terang kejadian itu membuat bingung sekaligus takut si pelayan cafe.

Costumer is always right. Aku benci dengan kalimat itu, pelanggan selalu benar. Pun kalimat senada, pembeli adalah raja. Kalimat-kalimat itu seakan menegaskan bahwa penjual atau penyedia jasa itu selalu salah. Dan harus berdiri pada posisi mengalah ketika berbenturan dengan pelanggan bermasalah. Pelanggan lah yang selalu benar, posisinya selalu diatas di awan. Kemudian dengan saena’e udele dewe mereka berkacak pinggang, atau duduk jegang untuk protes, marah-marah, mencela dan menyalahkan. Hanya mereka yang boleh menang.

Untuk kasus Sam dan café shop, aku bisa maklum. Bukan karena hal itu ada pada sebuah scene film tetapi karena memang Sam adalah karekter penderita down syndrome. Kecerdasan Sam hanya setara anak usia 6 tahun, bahkan Sam tidaklah lebih pintar dari putrinya, Lucy. Aku yakin kalau itu ada di dunia nyata, semua orang -yang waras- akan memakluminya.

Kasus lain, masih dalam tema yang sama. Ingat kejadian seorang anggota DPR-RI yang berebut kursi pada sebuah pesawat komersil? Tak perlulah aku sebut nama pejabat itu, bisa-bisa undang-undang ITE menjeratku karena orang ini faham betul masalah ITE. Dan Lagi-lagi, falsafah costumer is always right dipakainya. Dengan kekeuh dan mekso, pramugari dan petugas counter pesawat di lawannya, mencoba menyalahkan pihak penerbangan. Biasalah merasa benar dengan apa yang dilakukannya. Lebih ekstrim lagi, dia menggunakan bahasa kuasa dalam pemaksaan argumetasinya, “Bapak tahu siapa sebenarnya saya? Tahu nggak siapa saya?”. Bahasa yang mengisyaratkan nada ancaman.

Dalam kasus Roy Suryo ini, maksudku pejabat senayan ini, mungkin kalimat Pembeli adalah raja lebih tepat. Selain merasa benar, mereka menganggap dirinya raja yang bisa bertindak seenaknya. Mereka bisa mengancam, mengintervensi dan mungkin juga mengintimidasi. Apalagi mereka yang benar-benar punya kuasa, pastilah bahasa kuasa itu yang dijadikan senjata pamungkasnya. Apakah bisa dimaklumi? Semua orang –yang waras- pastinya tidak akan memaklumi.

Sekisah dengan kasus scene sam dan pejabat senayan, beberapa hari yang lalu pun aku merasakan pahitnya dari slogan costumer is always right. Bukan sebagai pembeli tetapi sebagai penjual, dalam hal ini penyedia jasa. Bimbingan belajar, adalah jasa yang aku dan lembaga tempatku bernaung tawarkan kepada para costumer. Dan kejadian itu aku alami sampai dua kali, beruntun dalam minggu yang sama pula.

Kisah yang pertama. Suatu malam masih dalam suasana kerja, tepatnya pukul tujuh kurang lima menit. Aku mendapat telepon dari orang tua siswa, seorang ibu-ibu. Tidak lewat telepon kantor, tetapi langsung ke HP-ku. Pertama nada suara ibu itu pelan tetapi sesaat kemudian berubah tinggi. Hal itu dikarenakan keinginannya tak bisa kupenuhi. Pasalnya itu minta jadwal bimbingan untuk malam itu di ubah, menyesuaikan jadwal ulangan anaknya hari esoknya. Ya jelas tidak bisa, apalagi mendadak.

Dengan bahasa yang bagiku santun, paling tidak ga ngotot, aku mencoba menjelaskan tentang sistem penjadwalan di bimbingan kami. Dan dia bilang, “saya faham, tapi tolong untuk malam ini…” aku tidak yakin dia benar-benar faham, karena dari bahasanya dia masih kelihatan mekso. Kemudian dia memberi usulan, “saya usul, harusnya bimbingan ada harus sesuai dengan jadwal ulangan di sekolah, biar tidak ketinggalan jaman..” ya usulan bernada mencela.

“Yang belajar di bimbingan kami bukan hanya satu sekolah saja, tapi banyak sekolah, dan tiap sekolah ulanganya tidak sama, yang satu sekolah saja kadang berbeda jadwal ulangannya. bimbingan kami sudah tersistem, bukan perorangan yang bisa dirubah jadwalnya dengan seenaknya. Merubah satu jadwal otomatis akan mengganggu sistem yang sudah berjalan. Apalagi di ubah hanya gara-gara satu anak, mendadak lagi” ingin sekali aku luapkan kata-kata itu, mungkin dengan sedikit aku teriakan kepada ibu itu, tetapi aku tahan.

Aku hanya bisa bilang, “terimakasih usulannya ibu, itu masukan yang sangat bagus untuk bimbingan kami kedepan, tetapi maaf ibu, malam ini saya belum bisa mengganti jadwal, terlalu mendadak dan kelas sebentar lagi masuk”.

Mirip seperti yang dilakukan Sam dalam I am Sam, bedanya Sam penderita down syndrome dan ibu itu tidak. Di garis tebal, aku bilang beda. Aku benar-benar gemes dengan bahasa yang ibu itu gunakan. Begitu nylekit dan merobek-robek hatiku. Tapi apa daya, slogan the costumer is always right seperti uppercut-nya mike Tyson, telak dan membuatku KO. Slogan itu membunuh karakterku dengan sadisnya.

Kisah yang kedua. Kisah ini terjadi tiga hari sebelum kasus yang pertama. Kejadiannya pun malam. Menjelang isya’, aku berada di ruang front office kantorku. Tidak sendiri ada dua orang teman kerja dan seorang siswiku yang kebetulan datang untuk berkonsultasi tentang matematika. Ketika sedang asyik mengerjakan plus menjelaskan soal-soal yang disodorkan, datanglah actor dalam episode ber-tittle Pelanggan adalah Raja ini.
Seorang pria dewasa, lebih tepatnya tua, kerut dan keriput adalah tandanya. Kemudian juga uban yang menghiasi rambut yang mulai jarang. Badannya tidak terlalu tinggi tetapi agak gemuk, karena terlihat beberapa bagian dari tubuhnya yang menebal karena lemak, dibagian pipi, bawah dagu seakan mempunyai dua dagu berlapis dan bagian buncit di perutnya. Ciri khas umum bos atau kaya. Dan dia memang kaya.

Tanpa sapa dan basabasi dia langsung membuka kata dengan bahasa yang keras dan nada tinggi. “bukanya saya protes, tapi.. “ kalimat itu menandakan bahwa dia sedang dan akan protes. Ya, dia menanyakan segala hal tentang sistem pembelajaran yang kami lakukan. Aku menahan diri untuk tetap diam, karena memang dia tidak memberi kesempatan untukku menyela. Aku mendengarkan dengan seksama apa keluhan yang dia proteskan, setiap kata. Dan tak jarang dari kata-kata yang dia keluarkan itu juga menyakitkan. Sampai pada bahasa, “kalau memang sistem pembelajaran disini tidak bagus, lebih baik saya tari anak saya dari sini” bahasa ancaman, “kebanyakan yang ngelesin anaknya disini kan orang-orang yang berpengaruh” ancamannya semakin menjadi, “kalau sampai saya tarik anak saya, ya bukan saya mempengaruhi yang lain, tapi pasti nanti yang lain akan ikut” kalimat terakhir ini yang menegaskan bahwa dia juga orang yang berpengaruh.

Jujur aku sempat dibuat takut dengan nada tingginya, bahasa dan ancamannya. Jantungku berdegup kencang sedangkan hatiku bergetar menahan emosi yang bergejolak. Bibirku mencoba tersenyum padahal tangan yang kusembunyikan erat mengepal. Dan kemudian aku mencoba menjelaskan semua hal yang dia tanyakan. Menjelaskan tanpa berusaha mencari-cari alasan. Ya aku sedang tidak mencari pembenaran dari apa yang telah kami lakukan, tetapi itulah kebenaran. Aku berharap dia faham apa yang aku sampaikan. Dan aku sangat berharap ancamannya hanyalah emosi sesaat dan tidak benar-benar dia lakukan.

Dalam sebuah referensi, ada yang disebut toxic costumer. Pelanggan bermasalah dan selalu mencari masalah. Terkadang mereka hanya ingin mencari keuntungan di berbagai kesempatan. Pelanggan seperti inilah yang seringkali menjadi buah simalakama bagi penjual atau penyedia jasa. Jika terus di pertahankan, setiap kali ada kesempatan dia akan merongrong penjual atau penyedia jasa, protes ini, keluh itu, kurang ini, minta itu. Tetapi ketika dibuang, efek buruk pun pasti akan datang ke penjual atau penyedia jasa, mempengaruhi si ini, menghasut si itu yang pada intinya adalah penghancuran citra produk ataupun lembaga penyedia jasa.

Costumer is always right sebenarnya sebuah slogan yang diciptakan untuk menumbuhkan semangat berbisnis. Slogan yang digunakan untuk memotivasi peningkatan kualitas produk dan pelayanan terhadap costumer. Akan tetapi terkadang slogan itu justru menjadi boomerang, ya seperti senjata makan tuan.

The costumer is always right, aku benci kalimat itu.
Selengkapnya...