Kangen

Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku…
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
kau tak akan mengerti segala lukaku
kerna luka telah sembunyikan pisaunya.
Membayangkan wajahmu adalah siksa.
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.
Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi
itulah berarti
aku tungku tanpa api


:: Emapat Kumpulan Sajak, WS. RENDRA Selengkapnya...

Catatan kecil 2006

:: Regretless

Bila esok tak kudapati
Kuingin..
Menelanjangi malam
Membuka perlahan satu demi satu
Kancing masa silam yang membungkus kenangan
Kuingin..
Mendekap erat malam
Memeluk mesra semua bayang
Membelai lembut kisah yang terurai panjang
Kuingin..
Malam terhenti dan berputar ulang
Mengantarku berjalan dari malam ke malam
Menemukan yang pernah hilang
Dan.. Menertawakan Kebodohan yang terpampang
Selengkapnya...

The Costumer is always Right

Costumer is always right… Costumer is always right…” kalimat itulah yang berulang kali di teriakan oleh Sam di salah satu scene film I am Sam. Ketika itu Sam bersama putrinya, Lucy, ada di sebuah café shop. Menu French Pancake yang Sam pesan tidak tersedia di café shop itu. Tawaran French Toast dari pelayan di tolaknya mentah-mentah. Pun ketika putrinya menawarkan Pancake Crepe, tak digubrisnya. Terang kejadian itu membuat bingung sekaligus takut si pelayan cafe.

Costumer is always right. Aku benci dengan kalimat itu, pelanggan selalu benar. Pun kalimat senada, pembeli adalah raja. Kalimat-kalimat itu seakan menegaskan bahwa penjual atau penyedia jasa itu selalu salah. Dan harus berdiri pada posisi mengalah ketika berbenturan dengan pelanggan bermasalah. Pelanggan lah yang selalu benar, posisinya selalu diatas di awan. Kemudian dengan saena’e udele dewe mereka berkacak pinggang, atau duduk jegang untuk protes, marah-marah, mencela dan menyalahkan. Hanya mereka yang boleh menang.

Untuk kasus Sam dan café shop, aku bisa maklum. Bukan karena hal itu ada pada sebuah scene film tetapi karena memang Sam adalah karekter penderita down syndrome. Kecerdasan Sam hanya setara anak usia 6 tahun, bahkan Sam tidaklah lebih pintar dari putrinya, Lucy. Aku yakin kalau itu ada di dunia nyata, semua orang -yang waras- akan memakluminya.

Kasus lain, masih dalam tema yang sama. Ingat kejadian seorang anggota DPR-RI yang berebut kursi pada sebuah pesawat komersil? Tak perlulah aku sebut nama pejabat itu, bisa-bisa undang-undang ITE menjeratku karena orang ini faham betul masalah ITE. Dan Lagi-lagi, falsafah costumer is always right dipakainya. Dengan kekeuh dan mekso, pramugari dan petugas counter pesawat di lawannya, mencoba menyalahkan pihak penerbangan. Biasalah merasa benar dengan apa yang dilakukannya. Lebih ekstrim lagi, dia menggunakan bahasa kuasa dalam pemaksaan argumetasinya, “Bapak tahu siapa sebenarnya saya? Tahu nggak siapa saya?”. Bahasa yang mengisyaratkan nada ancaman.

Dalam kasus Roy Suryo ini, maksudku pejabat senayan ini, mungkin kalimat Pembeli adalah raja lebih tepat. Selain merasa benar, mereka menganggap dirinya raja yang bisa bertindak seenaknya. Mereka bisa mengancam, mengintervensi dan mungkin juga mengintimidasi. Apalagi mereka yang benar-benar punya kuasa, pastilah bahasa kuasa itu yang dijadikan senjata pamungkasnya. Apakah bisa dimaklumi? Semua orang –yang waras- pastinya tidak akan memaklumi.

Sekisah dengan kasus scene sam dan pejabat senayan, beberapa hari yang lalu pun aku merasakan pahitnya dari slogan costumer is always right. Bukan sebagai pembeli tetapi sebagai penjual, dalam hal ini penyedia jasa. Bimbingan belajar, adalah jasa yang aku dan lembaga tempatku bernaung tawarkan kepada para costumer. Dan kejadian itu aku alami sampai dua kali, beruntun dalam minggu yang sama pula.

Kisah yang pertama. Suatu malam masih dalam suasana kerja, tepatnya pukul tujuh kurang lima menit. Aku mendapat telepon dari orang tua siswa, seorang ibu-ibu. Tidak lewat telepon kantor, tetapi langsung ke HP-ku. Pertama nada suara ibu itu pelan tetapi sesaat kemudian berubah tinggi. Hal itu dikarenakan keinginannya tak bisa kupenuhi. Pasalnya itu minta jadwal bimbingan untuk malam itu di ubah, menyesuaikan jadwal ulangan anaknya hari esoknya. Ya jelas tidak bisa, apalagi mendadak.

Dengan bahasa yang bagiku santun, paling tidak ga ngotot, aku mencoba menjelaskan tentang sistem penjadwalan di bimbingan kami. Dan dia bilang, “saya faham, tapi tolong untuk malam ini…” aku tidak yakin dia benar-benar faham, karena dari bahasanya dia masih kelihatan mekso. Kemudian dia memberi usulan, “saya usul, harusnya bimbingan ada harus sesuai dengan jadwal ulangan di sekolah, biar tidak ketinggalan jaman..” ya usulan bernada mencela.

“Yang belajar di bimbingan kami bukan hanya satu sekolah saja, tapi banyak sekolah, dan tiap sekolah ulanganya tidak sama, yang satu sekolah saja kadang berbeda jadwal ulangannya. bimbingan kami sudah tersistem, bukan perorangan yang bisa dirubah jadwalnya dengan seenaknya. Merubah satu jadwal otomatis akan mengganggu sistem yang sudah berjalan. Apalagi di ubah hanya gara-gara satu anak, mendadak lagi” ingin sekali aku luapkan kata-kata itu, mungkin dengan sedikit aku teriakan kepada ibu itu, tetapi aku tahan.

Aku hanya bisa bilang, “terimakasih usulannya ibu, itu masukan yang sangat bagus untuk bimbingan kami kedepan, tetapi maaf ibu, malam ini saya belum bisa mengganti jadwal, terlalu mendadak dan kelas sebentar lagi masuk”.

Mirip seperti yang dilakukan Sam dalam I am Sam, bedanya Sam penderita down syndrome dan ibu itu tidak. Di garis tebal, aku bilang beda. Aku benar-benar gemes dengan bahasa yang ibu itu gunakan. Begitu nylekit dan merobek-robek hatiku. Tapi apa daya, slogan the costumer is always right seperti uppercut-nya mike Tyson, telak dan membuatku KO. Slogan itu membunuh karakterku dengan sadisnya.

Kisah yang kedua. Kisah ini terjadi tiga hari sebelum kasus yang pertama. Kejadiannya pun malam. Menjelang isya’, aku berada di ruang front office kantorku. Tidak sendiri ada dua orang teman kerja dan seorang siswiku yang kebetulan datang untuk berkonsultasi tentang matematika. Ketika sedang asyik mengerjakan plus menjelaskan soal-soal yang disodorkan, datanglah actor dalam episode ber-tittle Pelanggan adalah Raja ini.
Seorang pria dewasa, lebih tepatnya tua, kerut dan keriput adalah tandanya. Kemudian juga uban yang menghiasi rambut yang mulai jarang. Badannya tidak terlalu tinggi tetapi agak gemuk, karena terlihat beberapa bagian dari tubuhnya yang menebal karena lemak, dibagian pipi, bawah dagu seakan mempunyai dua dagu berlapis dan bagian buncit di perutnya. Ciri khas umum bos atau kaya. Dan dia memang kaya.

Tanpa sapa dan basabasi dia langsung membuka kata dengan bahasa yang keras dan nada tinggi. “bukanya saya protes, tapi.. “ kalimat itu menandakan bahwa dia sedang dan akan protes. Ya, dia menanyakan segala hal tentang sistem pembelajaran yang kami lakukan. Aku menahan diri untuk tetap diam, karena memang dia tidak memberi kesempatan untukku menyela. Aku mendengarkan dengan seksama apa keluhan yang dia proteskan, setiap kata. Dan tak jarang dari kata-kata yang dia keluarkan itu juga menyakitkan. Sampai pada bahasa, “kalau memang sistem pembelajaran disini tidak bagus, lebih baik saya tari anak saya dari sini” bahasa ancaman, “kebanyakan yang ngelesin anaknya disini kan orang-orang yang berpengaruh” ancamannya semakin menjadi, “kalau sampai saya tarik anak saya, ya bukan saya mempengaruhi yang lain, tapi pasti nanti yang lain akan ikut” kalimat terakhir ini yang menegaskan bahwa dia juga orang yang berpengaruh.

Jujur aku sempat dibuat takut dengan nada tingginya, bahasa dan ancamannya. Jantungku berdegup kencang sedangkan hatiku bergetar menahan emosi yang bergejolak. Bibirku mencoba tersenyum padahal tangan yang kusembunyikan erat mengepal. Dan kemudian aku mencoba menjelaskan semua hal yang dia tanyakan. Menjelaskan tanpa berusaha mencari-cari alasan. Ya aku sedang tidak mencari pembenaran dari apa yang telah kami lakukan, tetapi itulah kebenaran. Aku berharap dia faham apa yang aku sampaikan. Dan aku sangat berharap ancamannya hanyalah emosi sesaat dan tidak benar-benar dia lakukan.

Dalam sebuah referensi, ada yang disebut toxic costumer. Pelanggan bermasalah dan selalu mencari masalah. Terkadang mereka hanya ingin mencari keuntungan di berbagai kesempatan. Pelanggan seperti inilah yang seringkali menjadi buah simalakama bagi penjual atau penyedia jasa. Jika terus di pertahankan, setiap kali ada kesempatan dia akan merongrong penjual atau penyedia jasa, protes ini, keluh itu, kurang ini, minta itu. Tetapi ketika dibuang, efek buruk pun pasti akan datang ke penjual atau penyedia jasa, mempengaruhi si ini, menghasut si itu yang pada intinya adalah penghancuran citra produk ataupun lembaga penyedia jasa.

Costumer is always right sebenarnya sebuah slogan yang diciptakan untuk menumbuhkan semangat berbisnis. Slogan yang digunakan untuk memotivasi peningkatan kualitas produk dan pelayanan terhadap costumer. Akan tetapi terkadang slogan itu justru menjadi boomerang, ya seperti senjata makan tuan.

The costumer is always right, aku benci kalimat itu.
Selengkapnya...

Aku Tak Bisa Lagi Menyanyi

Aku tak bisa lagi menyanyi
bagiku tak ada lagi lirik dan musik
yang menarik untuk ku nyanyikan
bersamamu ataupun sendiri

burung-burung terlalu berisik
mendendangkan apa saja
setelah mereka merdeka
membuatku tak dapat lagi mengenali
suaramu atau suaraku sendiri

taman tempat kita istirahat becek darah
yang seharusnya tak tumpah
jalan-jalan tempat kita mendekatkan hati
tertutup dihadang geram dan amarah
malam malam tempat kita menyembunyikan cinta
dionarkan kobaran kebencian
daging daging yang selama ini kita manjakan
pun ikut terpanggang api dendam
udara di sekitar kita meruapkan bau terlalu anyir
dan lalat lalat berpesta dimana mana

bagaimana aku bisa menyanyi
aku tak mampu meski menyanyikan lagu duka
aku tak bisa mengadukan duka pada duka
mengeluhkan luka pada luka
senar gitarku putus
dan aku tak yakin mampu menyambungnya lagi
dan langit pun seolah sudah muak
dengan lagu lagu bumi yang sumbang

maaf sayang
aku tak bisa lagi menyanyi
bersamu ataupun sendiri
entah, jika nabi daud datang
membawa seruling ajaibnya



by. Mustofa Bisri Selengkapnya...

Make a memory ... #thelast

:: Blue Safir

Anyelir itu tampak berseri indah. Warna merah muda segar dan mekar di setiap tangkainya. Komposisi bunga yang terpisah dari bagian kelopak adalah cirinya. Bunga dengan nuansa penuh kecantikan dan keanggunan. Dan merupakan ekspresi dari perasaan sentimental yang merawatnya. Anyelir itu diletakkan pada sebuah pot tanah liat. Pot warna cokelat eksentrik bereliefkan bunga. Pot itulah yang menjadi singgasana dimana dia bertahta. Berada pada sudut kanan teras rumah. Pesona anyelir itu semakin mempesonakan rumah itu. Rumah yang tak megah tapi keserdahaannya begitu wah.

Pintu rumah terlihat terbuka. Tetapi tak ada seorangpun terlihat. Aku memencet tombol yang bertulis “bel” di samping kiri pintu, sekali. Terdengar isyarat dari dalam rumah untukku sejenak menunggu. Tak sampai hitungan menit, gadis cantik dari dalam rumah keluar dan langsung mempesonaku. Pesona itu secara otomatis menggantikan pesonan anyelir yang sempat terekam dalam fikirku. Begitu anggun dan sederhana. Anggun dalam kesederhanaannya.

Dia Berdiri tepat di depan pintu bagian dalam, dia memandangiku. Dan aku berdiri di depan pintu bagian luar, memandanginya. Dia tampak terkejut dengan kedatanganku. Sengaja tak kuberitahukan kedatanganku. Surprise itulah yang aku inginkan, dan itulah yang terjadi, dia benar-benar terkejut. Sampai-sampai aku harus mengucap salam dua kali, karena salam pertamaku tenggelam dalam keterkejutan, keheranan dan mugkin kebingungannya.

Tak langsung dia mempersilahkanku masuk, Dengan suasana hatinya yang masih sama dia terus memandangiku. Aku pun melakukan hal yang sama, memandanginya. Tak banyak yang berubah dari diriku, kecuali mungkin tubuhku yang tak sekurus dulu. Begitupun dia, tak ada yang berubah darinya, bening mata itu, lesung pipit itu dan yang pasti senyum itu, tak berubah.

“Aku ga boleh masuk nich?”tanyaku dengan nada canda.
“Ups.. maaf..” singkat dia menjawab dan kemudian tersenyum. Senyum itu yang kuartikan sebagai isyarat mempersilahkanku.

Sofa beludru cokelat muda menjadi tujuanku ketika aku masuki rumahnya. Aku duduk menyandarkan diri dengan sedikit merebahkan tubuhku. Meluruskan kakiku. Membuat tubuh terutama punggungku terasa relaks. Telapak tanganku menyentuh lembut beludru sofa, begitu halus, begitu lembut. Dan masih dalam posisi itu, dengan mata terpejam, kutarik nafas dalam-dalam. Sedikit melepas lelah dari perjalananku.

Dia duduk di sampingku, matanya masih menelenjangiku.
“Dah lama banget ya? berapa bulan ya? Ato mungkin sudah setahunan?”
“Hhh.. kangeeen..” kata itu muncul sebelum aku jawab pertanyaanya.

Lama tak kudengar kata itu darinya. Jelas itu ekpsresi dari hati. Kata itu berhasil membuatku melayang sekaligus tenggelam. Melayang terbang ke cakrawala cinta dan kemudian tenggelam dalam samudra asmara. Kata yang aku tunggu dan selalu kurindu.

“Iya ya lama banget.. aku juga kangen” tawa ringan mengiringi jawabku
“Hmm.. tepatnya 11 bulan 16 hari, ya setahun kurang dikit lah”, tambahku. Jawaban dengan hitungan yang lebih akurat, karena aku ingat betul kapan terakhir kami bertemu dan berpisah. 13 September 2008 itulah terakhir kami bertemu dan sekarang 27 September 2009. Memori yang tak pernah bisa terlupa, mungkin karena terlalu pahit buatku. Dengan senyuman teraneh dia pergi. Dan meninggalkan mendung di hatiku.

“Maaf?” Kata yang spontan keluar dari bibirnya, karena mungkin merasa bersalah telah pergi. Mendadak suasana menjadi beku. Aku terdiam mendengar kata maaf itu, dia pun diam setelah mengatakan itu. Sama sekali aku tak menyalahkannya. Aku lebih menyalahkan keadaan, waktu dan diriku sendiri. Aku yang belum bisa menyakin semua hal yang di harapkan. Tetapi jujur, ada kekecewan yang cukup lama berdiam di hatiku atas kejadian itu.

“Hush.. apaan? Tak ada maaf bagimu.. ha.. haa”
“Maaf lahir batin juga deh” jawabku untuk mengalihkan sekaligus mengaburkan rasa bersalahnya. Mencairkan suasana hati kami, yang sejenak sama sama membeku. Kini dia mulai tersenyum dan aku pun tersenyum.
***

Segelas minuman dingin berwarna hijau dan berasa melon tersanding di depanku. Disamping kiri nya sekitar 15 senti, segelas air putih bening tanpa rasa, itupun untukku. Dua gelas minuman sengaja kuminta karena aku pasti akan lama berada disitu dan satu gelas tak akan cukup. Tak kulihat minuman ada di depannya, sengaja dia tak buat minuman untuknya. Dia hanya buat minuman untukku. Tepat berada di belakang dua gelas itu, tampak rapi berjejer kotak-kotak kue dengan beraneka macam rupa dan mungkin juga rasa. Masing-masing kotak berisi kue sekitar tiga per empat bagian kotak. Terlihat jelas karena semua kotak kue itu berbuat dari kaca bening.

“Eh, gimana Kalimantan? Critain ya? Pokokya critanya yang komplit” pertanyaan itu adalah pembuka dari seribu pertanyaan yang coba dia tanyakan padaku selanjutnya. Dan dengan senang hati aku menjawabnya, karena memang aku ingiin sekali bercerita semuanya dengannya. Dan aku cerita semua, tentang pengalaman pertama orang udik naik pesawat, tentang pengalaman kerja, tentang kehidupan di tanah rantau, tentang perbedaan budaya, tentang mitos-mitos, tentang tempat wisata, sampai pada tentang hati.

Menit ke menit berselang, setengah jam lebih aku bercerita. Hanya terhenti ketika aku minum dan mencoba sedikit kue yang sedari tadi ia tawarkan. Menjawab semua pertanyaan dan keingintahuanya tentang diriku, tentang kehidupan yang aku jalani. Hanya saja tersisa satu cerita yang masih aku simpan, yaitu tentang risalah hati.

“Sekarang giliranku bertanya dan giliranmu bercerita, so.. apa yang kamu lakuin di kotamu ini?”
“Dah jadi putri solo kah?” aku mulai bertanya dengan sedikit canda.

Dia pun mulai bercerita tentang dirinya, tentang kerja, tentang keluarga, tentang solo yang semakin ramai dan tambah panas. Seakan tak mau kalah denganku, ceritanya pun dia buat seekstrik mungkin. Dan memang ceritanya terlihat begitu menarik. Ceritanya membuatku seakan aku ingin kembali hidup di Solo. Dan ingin terus berbagi pengalaman hidup dengannya di kota itu. Pun sama denganku ada satu cerita tersisa darinya, yaitu tentang risalah hati.

Es dalam gelas mulai mencair, memudarkan warna hijau sirup melon yang tadinya pekat. Butiran-butiran beningnya terlihat mengapung di permukaan. Sementara di bagian luar dinginnya es membuat seluruh permukaan gelas seperti tertutup embun es. Air putih bening masih utuh tak tersentuh, karena memang sedikitpun belum aku minum. Sedangkan kotak-kotak sebagian dibiarkan terbuka. Sengaja dibiarkan begitu untuk memudahkanku mengambilnya.

Kini tiba saatnya untuk masalah hati, karena hal inilah yang membawaku kesini. Sebuah kepastian yang ingin aku pastikan. Selama ini hubungan kami nggantung. Dan itu itu dimulai sejak terakhir kami bertemu, lebih tepatnya setahun yang lalu. Komitmen sepihak darinya adalah untuk tidak berkomitmen. Dia membebaskan hatiku dengan komitmen itu. Alasan klise, bahwa jodoh tak kan lari kemana, jodoh ditangan Tuhan dan alasan tak ingin membebaniku dengan sebuah komitmen. Dengan kata lain dia membiarkan hatiku bebas memilih. Saat itu dia berfikir, barangkali dalam perjalananku akan ada yang ‘lebih’ dari dirinya. Tapi justru “membebaskan” itu membelengguku. Kini dengan tujuan suci, kumantapakan hati untuk membuat janji suci.
***

I did love you” dia mengatakan itu.

Selintas terdengar begitu begitu indah di telinga. Tetapi ketika kuputar ulang kata itu dalam fikirku, itu sungguh mengecewakanku. Sebenarnya aku tak begitu faham bahasa itu, tapi dengan meraba aku coba menafsirkannya. Dia menggunakan kata did di sela kata I dan love. Kata itu memberi makna penekan yang bisa diartikan sungguh. Tetapi did adalah bentuk lampau. Dan ini berarti, dia dulu sungguh mencintaiku. Perntanyaannya, dan bagaimana sekarang? Kenapa dia tidak menggunakan kata do? Pikiranku menjadi tak karuan. Firasat aneh pun muncul dalam diriku. Aku merasakan hal yang sama satahun yang lalu akan terjadi lagi. Dia meninggalkanku. Dan aku begitu takut, yang kurasakan saat ini dia akan meninggalkanku untuk selamanya

Tidak ada lagi kata dari dia setelah dia mengatakan I did love you. Dia diam dan tak memberitahuku kenapa dia berkata itu. Dengan wajah tak berekspresi dia menatapku tajam. Raut wajah yang bagiku begitu hambar. mencoba menahan sedih dengan senyuman yang tak memberi makna. Matanya mulai berkaca tapi berusaha keras agar air dimatanya itu tak jatuh. Dia seperti terlihat mencoba tegar. Pun dengan wajah seperti itu, dia tak mencoba memberitahuku.

Dia menegakkan duduknya. Membusungkan dadanya. Dan menjamkan tatapan matanya ke arahku. Dia Menyatukan kedua tangannya dalam pangkuannya. Memainkan jari jemarinya. Dan ternyata ada satu jari tangan kiri yang terus dia mainkan dengan tangan kanannya. Jari itu adalah jari manis. Ibu jari dan telunjuk tangan kanan memegang sebuah benda yang melingkar di pangkal jari itu. Memutar-mutar ke kiri dan kanan. Dan kadang menariknya dari pangkal jari ke tengah kemudian di kembalikan ke pangkal jari. Benda itu adalah sebuah cincin. Ya ada cicin melingkar di jari manisnya.

Cincin tunangan itu begitu cantik. Motif ukiran halus bentuk persegi bertumpuk belah ketupat yang begitu simetris. Seperti sebuah hologram, membuat motif itu tampak berdimensi. Frame tipis yang tergaris di bagian sisi membuatnya semakin eksentrik. Emas putih yang menjadi bahan dasar begitu mendominasi. Tetapi dominasi itu seakan tak berarti ketika berlian bening bartahta di bagian sentral cincin. Tertancap kokoh dan tak tergoyahkan. Bening kilaunya menjadikan seluruh bagian cincin semakin berdimensi. Emas putih dan berlian selalu sempurna menjadi kombinasi, selalu menjadi pasangan serasi dan abadi. Begitu cantik, menarik dan eksentrik.

Cincin itu melingkar cantik di jari manisnya. Jari yang menjadi simbol keabadian sebuah pasangan. Filosofi yang mengatakan bahwa jari manis adalah symbol dari pasangan kita dan kita di simbolkan dengan jari tengah. Dua jari yang sangat dekat dan sulit dipisahkan. Dan ketika cincin melingkar di jari manis itu berarti sebuah ikatan sejati terikat mati dalam janji suci. Aahh.. peduli setan dengan semua itu, yang jelas cincin itu ada di jari manisnya.

Damn! Kenapa tak kusadari itu. Dia mencoba memberitahuku tanpa kata-kata. Mungkin dia tak sanggup mengatakannya. Dia memberitahuku dengan isyarat cincin. Cincin itu menjawab semua pertanyaan-pertanyaanku. Cincin itu membenarkan firasat-firasatku. Cincin itu menafikan semua anganku tentang dia. Dan cincin itu telah menghancurkan hatiku.

Pikiranku melayang. Dan lagi-lagi mencoba mencari rasionalisasi. Menenangkan hati. Sisi ‘kiri’ hati berkata bahwa aku telah dibodohi. Alasan ingin “membebaskanku” dari komitmen hanyalah klise. Itu hanya alasan yang sebenarnya dia ingin membebaskan dirinya sendiri. Kebebasan memilih. Termasuk memilih seseorang untuk pendaping hidupnya. Termasuk memilih juga untuk terlepas dariku. Jika memang seperti itu, alangkah bodohnya aku. Harusnya aku sadar dari setahun lalu. Tetapi tidak. Sisi hati yang lain masih percaya penuh atas alasan-alasan yang dia ucap.

Entah, apakah dia sudah merasa lega, bahagia atau kecewa, aku tak tahu itu dan tak ingin tau itu. Tapi yang jelas aku merasa sangat terluka. Tak ingin meninggalkan beban di hatinya, dengan perntanyaan-perntayaan yang mungkin sulit dijawab, segera aku pamit. Dan seakan tak ingin menambah beban dihatiku, diapun tak berusaha menahanku.

“Aku akan ikhlas menjalani keputusanku, asalkan orang-orang di sekitarku, termasuk mas juga ikhlas dengan keputusanku” kata itu dia ucap sesaat sebelum aku beranjak berdiri dari tempat dudukku. Dengan senyuman aku jawab, “Doakan aku biar bisa bener-bener ikhlas”. Jujur untuk saat ini aku bener-bener tidak ikhlas.

Sepanjang jalan Slamet Riyadi menjadi saksi betapa pilu dan perih hati ini. Jauh api dari panggang. Yang di harap tak sesuai yang didapat. Datang dengan niat suci ingin mengikat hati dah janji, tetapi pulang dengan hati sepi. Tak kusangka aku patah hati, lagi. Dan kali ini tak ada harap lagi, karena jelas dimataku dia tak mungkin bisa kumiliki. “Cinta tak harus memiliku” aahh.. teori, sounds like bull. Yang jelas ketika cinta tak memiliki kita hanya bisa gigit jari dan mungkin menangis dalam hati.



Mengahadapi kemerdekaan tanpa cinta.. Kau takkan megerti segala luka ku.. Karena cinta telah sembunyikan pisaunya.. Membayangkan wajahmu adalah siksa.. Kesepian adalah ketakutan dan kelumpuhan.. Engkau telah menjadi racun bagi darahku.. Apabila aku dalam kangen dan sepi.. Itulah berarti aku tungku tanpa api.. (Puisi Rosyid dalam Tiga Hati Dua Dunia Satu Cinta)

Selengkapnya...

always be my baby

We were as one baby
For a moment in time
And it seemed everlasting
That you would always be mine
Now you want to be free
So I'm letting you fly
Cause I know in my heart baby
Our love will never die, no

You'll always be a part of me
I'm a part of you indefinitely
Girl don't you know you can't escape me
Ooh darling cause you'll always be my baby
And we'll linger on
Time can't erase a feeling this strong
No way you're never gonna shake me
Ooh darling cause you'll always be my baby

I ain't gonna cry now
And I won't beg you to stay
If you're determined to leave girl
I will not stand in your way
But inevitably you'll be back again
Cause you know in your heart baby
Our love will never end no

I know that you'll be back girl
When your days and your nights get a little bit colder
I know that, you'll be right back
baby believe me it's only a matter of time

-David Cook- Selengkapnya...

Make a memory .... #3

:: I Hate The Rain

You whispered that you were getting tired..
Got a look in your eye, looks a lot like goodbye..
Hold on to your secrets tonight..
Don’t want to know I’m ok with this silence..
It’s truth that I don’t want to hear..

Tempat yang sama 4 tahun lalu. Pepohonan itu masih begitu rindang, tempat itu masih penuh kesejukan. Dan burung-burung itu masih saja berisik.
Dari balik rindang pepohonan, tepatnya diatas pepohonan itu, terlihat awan putih yang mulai bergumul menutupi sinar matahari. Beberapa sisi awan terlihat masih tampak putih bercahaya, tetapi di sisi lain, noktah-noktah keabuan mulai menghiasi. Tak secara sempurna awan-awan itu menghadang matahari, karena pada banyak sisi masih terlihat birunya langit. seakan awan hanya ingin membuat teduh beberapa daerah saja. Desir angin yang sedari tadi bergantian membelai kulitku seketika terhenti. Kesejukan yang dibawanya pun berganti, berganti dengan udara dingin yang begitu kuat dan semakin erat memeluk tubuh. Sebuah keanehan yang membawa tanya kenapa bisa terjadi. Perubahan suasana ini menuntunku pada kegalauan dalam diri. Tubuhku kaku, hatiku menggigil, degup jantung bergerak lambat tetapi begitu keras.

Dia terdiam. Untaian kata dari bibirnya sirna. Nada indah yang dia nyanyikan tak bersisa. Candaan mesra, tawa bahagia bahkan senyum manisnya tak lagi ada. Semua terkalahkan dan harus tunduk pada isakan tangis yang mulai terdengar lirih darinya. Aku tahu, dia berusaha keras menahan tangis itu. Namun dadanya tak cukup kuat menahan sesak. Kelopak matanya pun tak begitu kuat menahan air mata yang kian mendesak. Tetes putih bening itu pun mulai terlihat. Terlihat membasahi pipi putih bersihnya. Sebagian membasahi bagian jilbab yang terlipat dan menempel di bagian belakang wajahnya. Dia mencoba menyembunyikannya dariku dengan membuang muka kearah berlawanan dengan pandanganku. Berharap aku tak melihat tetesan air mata itu.

Terlihat dia menyeka air matanya kemudian memaksakan padangannya ke arahku. Air mata itu membuat mata sendunya semakin sendu, memerahkan dan sedikit membengkakkan kantong matanya. Berulang kali menarik nafas panjangnya, mencoba mengurangi sesak dan isak yang bersumber dari dadanya. Dia berusaha mengontrol diri, meredakan emosi yang berkecamuk dalam dirinya.

Kini dengan suara terbata, dia mencoba merangkai kata. Kata-kata yang mungkin sangat dia ucap, “sampai kapan kita harus kehujanan hanya untuk menunggu pelangi yang tak kunjung datang, mas?. Bahasa kias yang entah dia dapat darimana. Ya aku sangat faham, pelangi itu sebagai analogi dari kebahagian. Pertanyaan yang bagiku sebagai penyangsian akan tekad yang dibulatkan. “awan semakin hitam, badai semakin kencang berkelebat, gemuruh dan kilatan petir membuat hati ini kian pekat” kata-katanya terhenti oleh isak tangis, terlihat air matanya menetes, mengalir melalui pinggir pipinya. Kembali dia mengalihkankan tatapannya dari tatapanku, dan kini dia tertunduk, “aku semakin kuyup mas, aku kedinginan, lelah, dan kini aku rapuh” kata-kata yang mengisyaratkan menyerah dan pasrah terucap dalam ketundukan.
Jantungku kini tak mau berdegup lambat, semakin keras dan kencang. Hatiku pun tak mau berhenti bergetar. Dan jujur mataku mulai berkaca, dadaku pun mulai sesak. Ingin sekali air mata yang sudah berada di kedua sudut mata kubuang keluar. Tetapi tidak, air mata itu tertahan oleh ego dan harga diri dalam hati. Aku hanya bisa berusaha tenang dan mencoba menguasai diri.

Dia tak lagi menyerongkan posisi duduknya kepadaku. Karena itulah aku menggeser posisi dudukku sedikit mendekat padanya. Kubuat posisi dudukku tegak lurus dengan posisi duduknya. Aku sedikit menundukkan tubuh dan wajahku, mencari tatapan matanya yang dia sembuyikan dalam ketundukan wajahnya. Dengan lembut kuberanikan meraih tangan kanannya dengan tangan kiriku. Kubelai lembut punggung telapak tangannya dengan jemariku. Suara pelan dengan intonasi tegas keluar dari bibirku membalas kata-katanya, “Aku bisa mencarikan tempat berteduh. gelapnya awan, kencangnya badai, gemuruh dan kilatan petir ini hanya sementara.. kuberikan dekapku agar kamu tak kedinginan, memapah dan menggendongmu jika kamu kelelahan.” aku coba menyakinkannya. Semakin erat kupegang tangannya, sebagai isyarat bahwa aku benar-benar serius dengan kata-kataku. Masih dengan tertunduk kembali dia mengucapkan tanya, “tapi sampai kapan?”.

Aku terbungkam. Aneh, pertanyaan itu membuat pikiranku blank, membuat bibirku bisu dan membuat hatiku kaku. Aku tak mampu menjawabnya walau hanya dengan bahasa semu untuk menenangkan hati. Aku benar-benar terkunci mati, karena aku sadar bahwa apapun jawaban dari pertanyaannya hanya bahasa klise. Bahasa yang bisa jadi hanya berisi janji-janji yang belum tentu terberi. Bahasa yang nilai kebenaran akan sulit terbukti. Bahasa angan-angan yang sama sekali tak menyentuh keghaiban. Bahasa kebohongan yang hanya menenangkan hati, hatinya atau mungkin hanya menenangkan hatiku sendiri. Aku diam. Dan se-isyarat dia pun diam. Dan keadaan itu bertahan sampai beberapa saat.


You're hiding regret in your smile..
There's a storm in your eyes I've seen coming for a while..
Hold on to the past tense tonight..
Don't say a word, I'm ok with the quiet..
The truth is gonna change everything..


Langit mulai sempurna tertutup awan keabuan. Mengisyaratkan mendung yang mulai datang. Gemuruh suara awan mulai terdengar meskipun belum bersautan. Angin pun mengencang tak karuan. Burung-burung mulai beterbangan mencari tempat berteduh yang aman. Sementara kami berdua masih dalam diam. Dia masih tertunduk, tetap pada posisinya. Dan aku mulai menarik diri, tak lagi menghadapkan diri ke arahnya. Seakan mengambil arah sejajar dengan arah duduknya. Genggaman tanganku pun melemah, tetapi tetap aku mengenggam tangannya, tak mau kulepas walau dalam kepasrahan menyerah.

Untuk kesekian kalinya dia mengusap air matanya. Bangkit dari ketundukannya. Mencoba tegar dengan memaksakan senyum dibibirnya. Mengarahkan pandangannya utuh kepadaku. Kini dia membalas genggamanku dengan mencoba menggenggam jari-jariku. Begitu erat. Beberapa saat dengan senyum dan genggaman itu dia masih terdiam, seakan itu adalah isyarat kalo semuanya akan baik-baik saja. Sampai pada untaian kata lirih yang jelas terdengar di telingaku, “aku pergi bukan karena aku tak mencintaimu.. sungguh.. dengan segenap hati aku mencintaimu.. kalau kepergiaanku ini hanya sementara, bersabarlah aku akan kembali utuh untukmu.. tetapi kalau kepergianku untuk selamanya, ikhlaskanlah.. itu sungguh bukan kuasaku”. Dengan tetap tersenyum dia perlahan melepas genggamanku. Senyuman teraneh yang menambah koleksi senyumannya di memoriku. Jujur senyuman itu adalah yang terindah, karena itu terakhir yang dengan jujur dia berikan padaku.

Aku pun pasrah. Dengan senyuman dia pergi. Meninggalkan aku sendiri dalam kehampaan hati. Sedih dan perih. Tanpa sadar beberapa tetes air mata menetes dari sudut mataku. Tak bisa tergambarkan betapa hancur dan sakitnya hati sampai air mata itu harus keluar. Aku Patah.

Sementara langit tak bisa berbuat apa-apa, hanya diam, memandangiku dengan wajah mendungnya. Padahal aku sangat berharap langit menumpah-ruahkan tetes-tetes air hujan yang dimilikinya. Aku butuh air itu untuk membiaskan air mataku yang dengan sengaja membiarkanku menangis, untuk menyembunyikan air mataku. Oh hujan kenapa kau tak turun, aku butuh kau untuk membuktikan pada dia bahwa memang harus kehujanan untuk melihat indahnya pelangi. Pelangi yang kau ciptakan bersama seberkas cahaya matahari. oh hujan, tak bisa kah kau sekedar basa-basi menambah dramatisasi kisahku seperti dalam sinetron, film atau cerita-cerita fiksi. Dalam hati aku terus meneriaki langit.

Beberapa saat setelah dia berlalu dan tak terlihat lagi. Aku masih bertahan di tempat itu. Aku duduk sendiri. Merasakan sisa-sisa suasana dan rasa yang masih tertinggal. Pandangan kosong tetapi fikiran terus melayang-layang. Mencari rasionalisasi dari semua yang telah dilalui dan baru saja diakhiri. Masa- masa indah yang tak pernah bisa dilupakan. Masa-masa itu akan menjadi pembading lurus dari rasa sakit yang kuterima. Seperti kata-kata yang pernah dia ucapkan, “jangan dilupakan, tapi jangan diingat-ingat”. Betul, aku tak akan melupakan, tetapi untuk melanjutkan kisahku tak harus aku terus mengingatnya. Rasionalisasi fikiranku terhenti pada satu sisi kesimpulan, aku harus terima ini mungkin jalan terbaik yang harus dijalani. Terdengar sangat klise, tapi itulah.

Dedauan mulai dijatuhkan oleh pepohonan itu. Mungkin karena hembusan angin kencang yang memaksanya. Seisyarat dengan itu, wajah mendung langit yang menua mulai menjatuhkan titik demi titik air hujan. Langit mengajakku bercanda. Sengaja mengulur waktu untuk menurunkan hujan. Entah apa maksudnya. Dengan memandang langit, aku melintangkan senyum dan berkata dalam hati, “terlambat, aku tak membutuhkannya lagi”. Kini kubiarkan hujan itu membasahi semua cerita lalu. Tetapi tak kubiarkan dia membasahiku, dengan sekuat tenaga dan hati aku berlari menghindari hujan ini.

So lie to me and tell me that it's gonna be alright.
So lie to me and tell me that we'll make it through the night.
I don't mind if you wait before you tear me apart.
Look me in the eye, Lie, lie, lie.
Don't want to know I'm ok with the silence.
It's truth that I don't want to hear.
(Lie, David cook)

Selengkapnya...

Make a memory.... #2

:: Te Quiero

Senyumlah… dan si manis pun tertawa
Hadirkan…. rasa tuk berbagi cinta
Senyumlah… dan si manis pun tertawa
Hadirkan… rasa rindu dihati


Pepohonan itu begitu kokoh berdiri, begitu rimbun, dan begitu rapi. Semuanya bersatu padu berusaha keras menentang teriknya sinar matahari. Sesekali sinar itu berusaha menyelinap masuk dari sela dedaunan. Tetapi seketika itu juga dedaunan tersadar dan kembali menutupi sela itu. Tak serta merta mengusir sinar itu, sebagian dari mereka ditawan dan dipaksa bekerja sebagai bagian dari proses fotosintesis. Kandungan oksigen yang tercipta begitu kental terasa dalam setiap helaan nafas. Seakan tak mengizinkan adanya gas lain ditempat itu, seluruh cela ruang udara pun ditempatinya. Bahkan angin yang berdesir adalah akibat dari dominasi oksigen dari tempat itu. Angin yang berdesir perlahan itu justru mampu menerbangkan jiwa dan raga kedalam kesejukan.

Jasa besar pohon itulah yang menjadikan tempat itu begitu menyejukkan. Berada diantara gerbang besar kampus dan masjid agung kampus, semakin meneguhkan bahwa indahnya hidup berada disitu. Panasnya lalulalang jalan memang tampak terlihat jelas, tetapi tetap hanya ‘tampak terlihat’. Seakan ada kesejukan surgawi yang tercurah dari masijd agung membentengi panas-panas itu untuk masuk didalamnya. Layaknya sebuah taman, tempat duduk semi permanen sengaja dilingkarkan tepat dibawah pepohonan itu. Di masing-masing pohon dan melingkar. Siapapun akan merasa rugi kalau tak singgah ditempat itu, walau sesaat, siapaun itu dan sesibuk apapun orang itu, meski hanya sesaat.

Aku duduk dan menunggu, dibawah salah satu pohon. Duduk dengan menghadapkan diri pada gerbang kampus. Dan terus berharap yang aku tunggu segera muncul dari balik gerbang itu. Sesekali melihat jam di pergelangan tangan kiriku, sesekali memainkan HP, sekedar iseng bermain game, dan yang pasti berulang kali buka inbox, sekedar baca berulang sms yang beberapa menit lalu masuk, “Tggu bentaaar, dah dket kok, sabar ya ^^”. Menunggu? Kesabaranku tak akan pernah habis hanya karena menunggunya. Karena tak hanya sekali itu aku menunggunya. Beberapa menit bahkan berjam-jam tak akan ada arti dan tak jadi masalah. penantian panjang pernah aku lalui untuk menunggunya.

Beberapa menit setelah aku baca berulang smsnya, sebuah angkot melintas di luar kampus. Warna kuning yang mendominasi bodinya dan warna merah pada bagian dasbornya. Sebelum benar-benar berhenti di pinggir gerbang, terlihat sekilas gadis berjilbab dibalik kaca mobil angkot, “nah itu dia” pekikku dalam hati yang kegirangan. Aku tertegun, candaan orang-orang tentang “bagai bidadari turun dari angkot” benar-benar nyata aku alami. Aku benar-benar melihatnya. Seketika senyumku mengembang begitu sempurna, tanpa diperintah. Subhanallah, tak pernah jemu aku memandang begitu indahnya dirinya.

Jilbab kuning muda berhias bordir motif bunga di sudut bagian belakang, Setelan baju bergaris tegak dengan paduan warna kuning, coklat muda dan putih, yang didominasi wana kuning. Bawahan panjang berwarna coklat agak kehitaman. Padu padan busana yang sangat apik. Motif baju bergaris itu seakan menjadi jembatan warna yang menjadi penghubung antara jilbab dan bawahan yang dikenakannya. Dia memang sangat fashionable.

Tak segera aku menghampirinya, sejenak sengaja kubiarkan dia beridiri di pojok kiri gerbang, dan kubiarkan dia mencari-cariku. Kebingungan tetapi tetap berusaha tenang. Melangkahkan mundur kakinya dan menyandarkan tubuhnya pada dinding gerbang. Isyarat tubuh yang menyatakan dia ‘menyerah’ mencariku. Senjata terakhir adalah HP yang sedari tadi sudah ada di tangan kanannya. Aku tahu yang akan dia hubungi, pastilah aku. HP-ku pun berbunyi, sengaja tak kuangkat tapi segera aku berdiri dari tempat duduk dan menghampirinya.

Spontan senyumnya melintang di wajahnya ketika melihatku. Senyuman manis yang selalu berhias dua lesung pipit di kedua sudut pipinya. Dia masih tetap bersandar di dinding seolah sengaja membiarkan aku datang menjemputnya, dua tangan dia satukan dengan menggenggam HP, separuh HP dia genggam dengan kanan dan separuhnya lagi dia genggam dengan tangan kirinya. Sesekali dia menggerakkan tubuhnya maju kedepan dan ke belakang, menggerakkan tangannya ke kanan dan ke kiri, seolah tak sabar agar aku cepat menghampirinya.

Senyumnya kini bercampur manyun ketika aku ada tepat di depannya. Wajahnya di tekuk lucu, tapi tetap dia tak mampu menyembuyikan sisa senyum yang ada di wajahnya. “Kemana?” tanyanya dengan berpura jengkel, aku tersenyum dan telunjuk tanganku mengarahkan pandangannya pada tempat aku duduk, “kenapa ga langsung kesini?”, aku masih tersenyum “sengaja” jawab singkatku. Terlihat dia mengerutkan dahinya, seolah kembali ada banyak tanya dalam fikirnya, sebelum dia menanyakan itu, aku mendahuluinya ”sengaja.. pengen ngliat perempuan cantik ini kebingungan, ternyata lucu juga” ketawa ringan keluar dariku. “Hah.. dasar.. gombal.. Puass.. kebiasaan!!” merasa aneh dengan apa baru saja yang aku lakukan. Tahu kesengajaan yang aku buat, kini dia berpura marah, mata dipaksa menatap tajam, alisnya diangkat dan senyumnya berusaha dibuangnya. Aku hanya tersenyum itu, jujur dia terlihat begitu cantik dengan ekspresi seperti itu. Aku yakin itu hanya kepuraan dan tak akan bertahan lama, hanya dalam hitungan detik. Dan benar, semua ekspresi yang dia munculkan, manyun, jengkel, bingung dan marah melebur dalam sebuah senyuman manis dari bibirnya. Dia memang begitu ekspresif, aku selalu menikmati setiap ekpresi yang dia buat sebagai sebuah keindahan.

Berdua kami melangkah meninggalkan gerbang. Tempat duduk tepat dimana aku duduk menunggunya telah menunggu. Banyak tempat duduk dengan suasana yang sama, tetapi kami lebih memilih tempat itu. Karena disitu lalalulang orang tak begitu sering dan tak begitu banyak. Dengan kata lain tak akan ada banyak orang yang menganggu. Berkisah apapun akan lebih nyaman, bahkan mungkin lebih indah. Dan di tempat duduk itulah kami berdampingan. Kami duduk dengan menyerongkan badan saling berlawanan arah. Dia disisi kiriku, mengarahkan posisi duduknya kepadaku, dan akupun sebaliknya. kami memang tak berhadapan tapi dengan jelas kami bisa saling menatap. Dan kecantikan tampak terlihat jelas di depan mataku.

Kicauan burung-burung kecil diatas kami begitu berisik. Mereka terus menerus berteriak, meneriaki kemesraan kami. Pastilah teriakan kecemburuan karena aku yakin mereka tak akan pernah bisa semesra kami. Senyum kecil dibibir dan teriak kecil dalam hati menertawakan burung-burung kecil itu. Alangkah bodohnya mereka, mereka tidak sadar, justru teriakan mereka semakin menghiasi kemesraan kami. Dan dengan begitu mereka akan semakin cemburu.. Kami begitu ‘mesra’dalam segala kisah yang kami kisahkan. Kemesraan yang hakiki tanpa unsur negatif didalamnya. Saling memberi saling menerima, saling mengisi dan saling melengkapi. Siapapun pastilah akan iri melihat kemesraan kami. Dan kami tak peduli itu.

Dia tersenyum manis kepadaku, kemudian dengan artikulasi lirih dia berbisik, “Te queiro”.
"Te Amo demasiado", jawabku.
Selengkapnya...